Jumat, 29 Desember 2017

Best of Teacher



Assalamu’alaikum, kawan-kawanku, sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku, yang mengenalku, dan semua yang membaca tulisan ini. Malam ini saya ingin berbagi tentang sesuatu yang saya dapat. Sesuatu yang sangat berharga, yaitu guru terbaik.
Guru terbaik saya tidak mengajar di sekolah, instansi pemerintahan, atau di manapun. Ia ada di setiap diri manusia. Ia adalah, Pengalaman. Yap. Bukankah guru terbaik adalah pengalaman? Baiklah, kalimat pengantarnya ringkas saja, ya. Mari membaca. :D
Pernahkah dalam sehari, kalian mengeluh atas sesuatu yang telah terjadi pada diri kalian? Misalnya, uang jajan yang kalian dapat dari orang tua, tidak sesuai dengan harapan. Lalu telat masuk kelas, tugas sekolah/kampus yang menumpuk, pekerjaan yang tak kunjung selesai, guru/dosen yang kurang menyenangkan, teman yang tidak pengertian, cuaca yang fluktuatif, dan masih banyak lagi. Kalian mungkin sering curhat pada teman, pada orang tua, facebook, twitter, bbm, dan sosial media lainnya. Tapi pernahkah kita bersyukur atas satu nikmat yang Allah beri? Satu saja. Contohnya, bernapas. Pasti kalian sudah tahu tentang artikel harga oksigen, berapa liter oksigen yang kita butuhkan dalam sehari, berapa harga oksigen, dan Allah memberi kita secara gratis. Pasti tahu, saya yakin, kalian pembaca yang aktif J
Yang ingin saya bahas malam ini, tentang bersyukur atas semua yang kita punya. Pertama, untuk teman semua yang kini duduk di bangku kuliah. Selamat, kalian telah diberi kesempatan untuk menyandang status mahasiswa. Kalian begitu bahagianya menjadi MABA (Mahasiswa Baru), sampai-sampai segala kegiatan kalian diposting di media sosial. Begitu sibuknya kalian. Nah, jika ada yang kuliah, pasti ada yang tidak kuliah, kan? Rambut sama hitamnya, hati orang siapa yang tahu? Sedikitnya, mereka yang belum diberi kesempatan untuk kuliah, ada perasaan iri, melihat postingan kalian di sana-sini. Yuk, kita menjaga yang lain untuk tetap bersyukur, dengan apa yang mereka punya.
Pengalaman yang kedua, untuk teman semua yang kini menjadi seorang karyawan, pengusaha, dan lain-lain. Selamat, kalian hebat, belajar sukses semuda mungkin. Kalian begitu giatnya bekerja, mencari nafkah untuk diri sendiri, dan ingin memberi pada kedua orang tua. Tapi pekerjaan tidak selalu mulus, mudah dan cepat ditangani. Alhasil kita mengeluh, mengeluh dan mengeluh. Mungkin kita lupa, bahwa selain ada karyawan, masih ada pengangguran yang luntang-lantung mencari kerja. Melamar ke sini ditolak, melamar ke sana belum diterima. Masih pantaskah kita mengeluh atas pekerjaan yang sedang kita jalani? Yuk, kita bersyukur, meski penghasilan tak seberapa, yang penting berkah dan Allah rido pada kita.
Pengalaman yang ketiga, untuk teman semua yang kini sudah menikah. Selamat, kalian dipilih untuk tidak menunggu lebih lama. Kalian sangat berbangga hati atas pasangan yang kalian miliki saat ini. Mungkin kita lupa, bahwa banyak para single yang masih menanti dalam kesendiriannya. Mungkin ada yang iri melihat kita posting sana-sini, memperlihatkan kemesraan, dan lain-lain. Yuk, kita menjaga yang lain untuk tetap bersyukur atas kesendirian mereka yang masih dalam ketaatan.
Pengalaman yang keempat, untuk teman semua yang memiliki harta yang lebih dari cukup. Selamat, kalian diberi kesempatan untuk dititipi amanah. Yang nantinya akan dipertanggungjawabkan. Kalian bisa memberi sesuka hati, pada siapapun yang kalian ingin. Lalu masih pantaskah kita mengeluh? Atau bahkan kita selalu merasa kurang? Padahal jika kita mau melihat ke bawah, masih banyak yang kekurangan harta. Tapi, anehnya, mereka merasa tenang. Mengapa bisa demikian? Karena mereka memiliki kelebihan, kelebihan ketenangan batin. Meski beban berat di pundak mereka, tak sedikitpun ada celah, waktu, dan tempat bagi mereka untuk mengeluh. Untuk apa? Semua rezeki sudah ada yang mengatur. Tugas mereka hanya berusaha, menjemput rezeki dan berdoa kepada Sang Maha Kaya.
Untuk kita semua, marilah kita coba berucap syukur. Alhamdulillah. Ucapkan berkali-kali. Jika hatimu bergetar, tandanya hati kita masih hidup. Jika hatimu tak bergetar, mungkin kita perlu berdzikir. Mana mungkin hati tak bergetar ketika mengucap nama-Nya?
Tulisan ini sekadar mengingatkan bagi penulis. Karena setiap orang mempunyai kewajiban untuk mengingatkan. Bukan berarti sudah benar, tapi sama-sama ingin menjadi orang yang benar. Bukankah menyenangkan bisa melangkah ke jalan yang diridoi-Nya bersama orang-orang yang kita cintai?
Sekian dari saya. Mohon maaf jika kalimat-kalimat saya terkesan menggurui. Yang benar datangnya dari Allah, yang salah datangnya dari kebodohan saya pribadi. Terima kasih telah menyempatkan diri untuk membaca tulisan ini. semoga bermanfaat. Wassalamu’alaikum wr. Wb.

Senin, 02 Januari 2017

Tanyalah pada Hati

Bismillah.

Duhai hati, seberapa tebal dosaku? Mengapa untuk bangun di sepertiga malam saja aku tak mampu?
Duhai mata, apa saja keharaman yang telah kau lihat? Mengapa kau selalu terpejam kala Dia datang?
Duhai kaki, ke mana saja kau melangkah? Mengapa terasa berat hanya untuk mengambil air wudhu?

Apa mungkin aku kurang mampu menjagamu? Bagaimana saat pertanggungjawabanku di akhirat?
Apakah kalian akan menghakimiku?
Apa kalian akan menyeretku ke dalam sana?
Atau membawaku ke dalam kebahagiaan yang tak terhingga?

Duhai hati, lawanlah penyakit-penyakitmu.
Duhai diri, semoga tetap di jalanNya.

Semoga, "Rodliyallohu anhum wa rodlu anhu."

Menemukanmu

Menemukanmu seperti menemukan jarum di tengah tumpukan jerami.
Menemukanmu seperti pecah bisul yang selama ini menggangguku.
Menemukanmu seperti menemukan kunang-kunang di tengah sawah, menenangkan.
Menemukanmu seperti menatap langit biru dipenuhi gumpalan awan, membahagiakan.
Menantimu seperti menunggu tanggal dua puluh sembilan di bulan Februari.
Menantimu seperti menunggu hujan ditengah kemarau.
Menunggumu seperti berharap sejuk di tengah panas.
Memilihmu seperti menentukan mau surabi yang di mana? Kemudian di kedai yang mana? Kemudian rasa apa? Kemudian pedas atau asin? Kemudian kering atau setengah matang?
Dipilih olehmu seperti apa, ya? Bahagia, itu saja. Sebab bahagia sudah mencakup segalanya. Atas syukur, atas ni'matNya, atas semuanya.
.
.
.
KY. Hari kedua di tahun yang baru.

Selasa, 29 September 2015

Pendatang Baru

Lembayung tak dapat kusaksikan lagi
Malam setiap hari
Aku rindu senja
Aku rindu jingga
Mentari tak nampak lagi
Aku rindu pagi
Aku rindu mega
Birunya langit
Ah, apa daya
Sebatas tunanetra pendatang baru.

Senin, 01 Desember 2014

Tanya Untuk Kita

Kau...
Sampai kapan meletakkan topeng itu?
Tak lelahkah?
Tak merasa berdosakah?
Berapa kesedihan yang kau sembunyikan dari mereka?
Dari hiruk pikuk keramaian yang nyata kau rasa sepi
Ceritakan pada angin
Jelaskan pada hujan
Teriakkan pada langit senja yang setia menemani mentari untuk tenggelam

Kau...
Tak kasihankah pada dirimu sendiri?
Lihat, mereka pun bisa
Mereka pun mau
Berada di posisinya
Yang kau sayangi saat ini

Lihatlah, sayang
Mereka mencium kebohonganmu
Dustamu segera terkupas
Berkacalah, lihat matamu yang berlinang air mata
Hanya mereka yang mampu menebak kesedihan itu

Selasa, 28 Oktober 2014

Ada apa dengan LISAN

          Bismillah
          Assalaamu'alaikum wr wb.
          Akhirnya, setelah beberapa minggu tidak muncul di blog, sore ini saya ingin berbagi seperti biasanya. Kali ini tentang "Lisan".
Memang benar, ya, lidah itu tidak bertulang. Dan yang paling tajam di dunia ini bukanlah pedang, pisau, atau yang lainnya, tapi lidah. Coba, saking bahayanya, lidah dipagari gigi, lalu dilem pula oleh bibir. Memangnya ada apa dengan si "Lidah" ini?
Ternyata, si Lidah ini meski kecil dan di tempat tersembunyi, bisa melukai hati atau perasaan yang letaknya pun tak terlihat. Ish ish...
Saya pernah membaca kalimat, "Berpikir dulu sebelum berbicara", secara tidak langsung, kalimat ini telah menyimpulkan, lidah kita harus disinkronkan dengan otak. Karena, salah-salah, kita bisa menyakiti orang lain. Ibarat kertas yang sudah dicoreti pensil, meski dihapus pasti akan ada bekasnya. Begitu pun dengan hati dan lisan. Meskipun sudah meminta maaf, rasa sakit hati itu belum tentu sepenuhnya hilang.
         Dalam peribahasa sunda pun dikatakan, "Basa mah teu kudu meuli". Maksudnya, kita harus bisa menempatkan tata cara bicara kita, pada teman, orang tua, adik, guru, dan yang lainnya. Tidak sulit, kok.
         Jika kita mau, kita bisa berusaha untuk menjaga lisan. Bagaimana caranya? Ya yang pertama, pikiran dan hati harus disambungkan terlebih dahulu, harus seimbang. Lihat lawan bicara kita. Kepada orang tua kita harus sopan, kepada teman pun begitu, dan adik juga harus sama rata. Orang yang bahasanya baik, pasti akan mendapat perlakuan baik pula dari siapapun. "Hade tata hade basa".
        Marah. Nah, ini, jaga lisannya kalau marah. Diikat kalau bisa, hehe. Karena tak jarang si "Lidah" berulah saat marah. Daripada melukai orang lain, lebih baik diam. Seperlunya. Tak usah bicara banyak-banyak. Beristighfarlah sebanyak-banyaknya. Minta perlindungan dari Alloh dari marah tersebut. Tak jarang pula, dari marah, lalu bertengkar, adu mulut lalu terjadi hal yang tidak diinginkan (semoga Alloh melindungi dari hal tersebut). Itu karena hatinya diisi, dibisiki dan dikelitiki oleh hawa nafsu yang sifatnya sudah manusiawi. Tergantung bagaimana kita menghadapi si Lidah tersebut.
Semoga saya, anda, dan kita semua dapat menjaga lisan, merawat lisan dan menghiasi lisan dengan yang baik-baik. Insyaa Alloh.

*yang benar datangnya dari Alloh, yang salahnya murni dari saya sendiri.
Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum ^_^

28 Oktober 2014
16.51
Kamelia Yuniar

Minggu, 28 September 2014

Realistis?

"Mi, gini, ya. Hidup ini harus realistis. Jangan sampai, keidealisme-an kamu itu jadi penghalang kamu untuk menggapai masa depan kamu."
  
      Realistis? Bukankah aku benar? Ralat, aku memang tidak sepenuhnya benar. Tapi, setiap orang kan mempunyai caranya masing-masing untuk melakukan sesuatu hal. Contohnya, aku. Menyayanginya dengan cara berdiam diri, mendoakan yang terbaik baginya. Saat yang lain sibuk memberi perhatian pada si 'pacar', aku hanya bisa menitipkan rinduku padaNYA. Karena aku menyadari, aku tak bisa berada di sampingnya untuk saat ini. Apalah arti rindu dan cinta, jika Allaah akan murka padaku, terlebih padanya. Bukankah "Hasbunallaah wa ni'mal wakiil" ? Lantas mengapa semua seakan memojokkanku? Hanya karena aku tak ingin mempunyai status terlarang itu? Aku memang kaum minoritas. Bukan karena aku tak bisa mencintai, bukan karena aku tak menyayanginya. Sama sekali bukan! Justru inilah caraku untuk mencintainya. Lewat lantunan doa yang terselip di setiap sujud panjang itu.
      Ya, mengapa aku harus khawatir? Bukankah Allaah telah menyiapkan yang terbaik untuk yang terbaik pula? Yang aku tahu, lelaki senakal apapun, pasti menginginkan wanita yang baik. Bukan begitu, wahai kaum Adam?? Lantas mengapa seolah aku ini fanatik sekali terhadap 'anti pacaran'?? Memang benar kata Imam Syafi'i, "Perkataanku benar tapi ada titik salahnya, dan perkataan orang lain salah tapi ada titik benarnya", tapi, apa dalam masalah kegiatan berdua-duaan dengan non mahram itu benar?
      Bukan aku sok benar, aku juga sedang dan akan selalu mencintai seseorang. Dan kerap kali memikirkannya ketika hendak tidur. Kata siapa aku shalihah? Jauh dari kata itu. Tapi, aku ingin memperbaiki status yang Allaah beri, sebagai 'Hamba'. Apakah layak, seorang hamba, selalu mengingkari aturan Rabb-nya? Apakah layak, seorang hamba, tidak taat pada Rabb-nya? Sungguh, tidak layak sama sekali.
      Jadi? Siapa yang harus realistis? Tak melulu soal cinta pada lawan jenis, kan? Cukuplah kini Allaah dulu, Allaah terus, dan Allaah lagi. Coba melakukan pendekatan dengan-Nya. Berkhalwat dengan-Nya. Silakan tafakuri kalimat ini, "Satu cobaan yang Allaah beri, sejuta kebaikan yang Allaah ganti."
      KURANG BAIK APA? :'( *Ngomong depan cermin*
      Ya, biarkan aku dengan caraku sendiri, dengan keREALISTISanku. Hasbiyallaah~

Rabu, 03 September 2014

Daun-daun Berguguran



Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu’alaikum wr wb.
Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘alaa ali sayyidina Muhammad. Allahumma yassir wa laa tuassir. Aamiin.
Alhamdulillah, salah satu catatan saya untuk memenuhi blog ini pun rampung sudah. Selamat membaca ^^
***
     “Satu-satu, daun-daun, berguguran tinggalkan tangkainya…”
Sepenggal lirik lagu lawas yang saya tuliskan ini, sudah lama tak terdengar. Tiba-tiba saja, saya teringat lagu ini. Bukan hanya karena saya rindu masa kecil saya, tetapi, karena perlahan, sahabat-sahabat saya mulai berguguran. Ambigu, ya? Berguguran di sini bukan berguguran mati karena perang seperti Israel dan Palestina, tapi, mereka berguguran mati karena kalah perang melawan nafsunya. Mungkin dalam tulisan saya ini akan ada yang tersinggung. Maafkan saya.
     Dulu, kami –saya dan sahabat-sahabat saya— mempunyai prinsip yang sama. Kalau zaman sekarang sih biasa dibilang “Jomblo Sampai Sah dan Halal” atau biasa disingkat “JOSSH”. Kami memupuk perasaan ini dan meluruskannya agar tidak menjadi salah. Tak ubahnya seperti remaja lain. Meski berprinsip seperti itu, kami juga manusia, bisa jatuh cinta. Hanya saja, kami tak menyalurkan cinta ini ke jalan yang “mungkin” Allaah tak suka (baca: pacaran).
     Bukan satu atau dua cara yang syetan lakukan untuk membujuk kami. Dimulai dari cara yang lumrah, sampai cara yang islami seperti membangunkan untuk sahur, tahajjud, mengingatkan shalat, dan masih banyak lagi. Ternyata syetan pun terselip di sana. Ada debar rasa dalam hati, menganggap dirinyalah yang paling shalih/shalihah. Tak sadar, hal itu dapat mengurangi niat beribadah karena Allaah, juga dapat mengotori hati. Ya mungkin harus disapu, dipel atau direnovasi hatinya… -_- Salah fokus. Oke maaf, ini bukan rumah, ya?
     Tak sedikit aktivis-aktivis dakwah yang dulunya menolak PACARAN, pada akhirnya termakan oleh kata-katanya sendiri. Tidak! Mereka bukan munafik! Saya tekankan, BUKAN MUNAFIK! Mereka sedang diuji, dan rekan seperjuangan mereka pun sedang diuji. Bukan maksud saya untuk membela mereka. Karena jujur, saya sendiri tak rela melihat sobat karib dunia akhirat saya harus masuk ke dalam jurang kemaksiatan.
     Saya merasa gagal menjadi seorang teman. Saya memang ada hak untuk marah, tapi, siapalah saya? Perkataan orang yang munafik seperti saya ini, jarang ada yang mau mendengarkan. Saya hanya bisa mengajak, mengajak dan mengajak orang lain. Diri sendiri saja masih berjalan merangkak untuk kembali ke jalan-Nya. Tapi, biarlah. Biarlah ajakan ini menjadi motivasi untuk diri saya juga.
     Satu persatu sobat saya, menghalalkan aktivitas itu. “Daun-daun berguguran tinggalkan tangkainya.” Manusia-manusia itu diibaratkan sebagai sehelai daun, dan prinsip mereka adalah tangkainya. Maka, benarlah lagu tersebut, daun-daun itu berguguran tinggalkan tangkainya. Manusia-manusia itu tak kuat, belum cukup mampu mempertahankan prinsipnya.
     GALAU. Hanya kata itulah yang mampu mengekspresikan hati saya saat ini. Bagaimana nanti jika Allaah bertanya di Yaumul Hisab? Apa yang akan saya jawab? Bagaimana nasib laporan pertanggungjawaban saya kelak, jika saya asyik beribadah, sedangkan teman saya dibiarkan melakukan maksiat? Dibiarkan bersentuhan tangan dengan non-mahramnya, menatapnya dengan penuh nafsu, dan aaahh masih banyak lagilah. Jahat sekali saya ini, Yaa Robb L Ampuni diri ini….
     Apalah yang bisa kulakukan selain memohon pada-Nya? Memohon untuk kesadaran rekan-rekan saya. Karena apapun yang saya katakan, apapun yang saya lakukan, jika Allaah tak ingin memberi hidayah, sekuat apapun dalil dan alasan saya, tak akanlah hati mereka bergerak untuk kembali memperbaiki diri.
     Meski begitu, saya tak ingin menyerah. Terkadang saya menyelinap di balik hubungan mereka. Saat mereka bertengkar dengan ‘kekasih belum halal’nya, saya hadir untuk menjadi pendengar setia. Terkadang sakit sekali, sakit yang menyayat hati, jiwa, dan raga *okeinilebay*. Dan disitulah saya beraksi. Ujung-ujungnya saya katakan, “Tuhkaaaan, cowok mah emang gitu. Itutuh kode ingin putus, bosen sama kamu. Udah, udahan aja,” meski kata-kata itu hanya masuk ke telinga kanan lalu keluar telinga kiri, yaa tak apalah. Yang penting saya sudah mengingatkan. Karena yang salah itu adalah membiarkan suatu kemaksiatan tetap berjalan, dengan sepengetahuan kita. Bisa dibilang pura-pura buta, pura-pura tuli, pura-pura gagu, dan masih banyak kepura-puraan itu. Tanpa disadari, kita sudah bersikap apatis terhadap orang-orang terkasih. Bukankah indah, jika kita nanti dapat berkumpul di Jannah-Nya?
     Hmm…ternyata bukan hanya teman penulis blog ini saja yang mengalami hal yang serupa. Penulisnya –saya sendiri— pun sering terkena demam cinta, akibat virus merah jambu yang seringkali menyerang daya tahan iman saya. Namanya juga manusia. Setingkat ulama, ustadz, dan tokoh agama terkemuka pun, pasti pernah berbuat kesalahan. Dan setiap harinya harus dibasmi oleh nasihat-nasihat dari Yang Maha Segalanya, dengan cara membaca kalimat-kalimat indah-Nya. Semua termaktub dalam Al-Qur’anul kariim. Insya Allaah, hati merasa lebih tenang.
     Ingat, kalau ada apa-apa, bilang sama Allaah, ngadu sama Allaah. Kalau mau apa-apa, mintanya sama Allaah, berdoa sama Allaah, nanti Allaah beri jalan, Allaah beri perantara. Seperti mendapatkan sesuatu dari seseorang, uang dari orang tua, udara yang bebas dan gratis di bumi, matahari yang bersinar menghangatkan badan,  kalau bukan Allaah yang memberi semua ini, lantas siapa lagi? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
     Jadi, saat saya kecewa pada hati saya, pada rekan saya, daripada terus menyimpan kecewa, apalagi yang lebih baik daripada mendoakannya dengan tulus dan ikhlas? Karena hanya Allaah lah Maha Pembolak-balik hati. Maka, janganlah men-judge seseorang dari masa lalunya yang kelam. Siapa yang tahu bila suatu saat nanti orang tersebut akan menjadi kekasih Allaah? Kekasih yang dirindukan syurga, dan kekasih yang dicari-cari oleh para malaikat.
  Tetap doakan rekan yang sedang diuji. Semoga Allaah menggerakkan hatinya untuk segera bertaubat, taubatan nasuha. Dan doakan juga untuk saya, semoga Allaah selalu melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya, dan semoga prinsip saya ini dapat saya pertahankan. Aamiin, semoga doa kalian untuk saya, dapat sekaligus mendoakan anda juga, insyaa Allaah. Maafkan saya jika dalam tulisan ini terdapat banyak kesalahan yang membuat kalian tak nyaman. Saya hanya manusia yang masih dan akan terus belajar. Terima kasih telah menyempatkan untuk membaca tulisan ini.
Barakallaahu fiikum. Wallahu a’lam bisshawaab.
Wassalamu’alaikum wr wb.

Di kamar, 2-3 September 2014.