بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Siapa Bilang Pacaran Haram ??
Oleh : Aditya Budiman
Segala puji hanya milik Allah
‘Azza wa Jalla. Hanya
kepadaNya kita memuji, meminta tolong, memohon ampunan, bertaubat dan
memohon perlindungan atas kejelekan-kejelekan diri dan amal-amal yang
buruk. Barangsiapa yang diberi Allah petunjuk maka tidak ada yang dapat
menyesesatkannya dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang
dapat memberikannya hidayah taufik. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah dan tiada sekutu baginya. Aku
bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hambaNya dan UtusanNya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan para sahabatnya
ridwanulloh ‘alaihim jami’an.
Adalah suatu hal yang telah menyebar luas dikalangan masyarakat
sebuah kebiasaan yang terlarang dalam islam namun sadar tak sadar telah
menjadi suatu hal yang sangat sering kita lihat bahkan sebahagian orang
menganggapnya adalah suatu hal yang boleh-boleh saja, kebiasan tersebut
adalah apa yang disebut sebagai
pacaran.
Oleh
karena itu maka penulis mencoba untuk memaparkan sedikit tinjauan islam
tentang hal ini dengan harapan penulis dan pembaca sekalian dapat
memahami bagaimana islam memandang pacaran serta kemudian dapat
menjauhinya.
Pacaran yang dikenal secara umum adalah
suatu
jalinan hubungan cinta kasih antara dua orang yang berbeda jenis yang
bukan mahrom dengan anggapan sebagai persiapan untuk saling mengenal
sebelum akhirnya menikah[1].
Inilah mungkin definisi pacaran yang banyak tersebar dikalangan
muda-mudi.
Maka atas dasar inilah kebanyakan orang menganggap bahwa hal ini adalah
suatu yang boleh-boleh saja, bahkan lebih parahnya lagi dianggap aneh
kalau menikah tanpa pacaran terlebih dahulu –
wal ‘iyyadzubillah –.
Lalu jika demikian bagaimanakah tinjauan islam tentang hal ini? Berikut
penulis coba jelaskan sedikit kepada pembaca –sesuai dengan ilmu yang
sampai kepada penulis– bagaimana islam memandang pacaran.
Pacaran adalah
suatu yang sudah jelas keharamannya dalam islam, dalil tentang hal ini banyak sekali diantaranya adalah firman Allah
‘Azza wa Jalla :
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan”. (Al Isra’ [17] : 32).
Ayat ini adalah dalil tegas yang menunjukkan haramnya pacaran.
Berkaitan dengan ayat ini seorang ahli tafsir
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –
rahimahullah- mengatakan dalam tafsirnya,
“Larangan mendekati suatu
perbuatan nilainya lebih daripada semata-mata larangan melakukan suatu
perbuatan karena larangan mendekati suatu perbuatan mencakup larangan
seluruh hal yang dapat menjadi pembuka/jalan dan dorongan untuk
melakukan perbuatan yang dilarang”.
Kemudian Beliau
–rahimahullah- menambahkan sebuah kaidah yang penting dalam hal ini,
“
Barangsiapa yang mendekati suatu perbuatan yang terlarang maka dikhawatirkan dia terjatuh pada suatu yang dilarang”
[2].
Hal senada juga sebelumnya dikatakan penulis
Tafsir Jalalain demikian juga
Asy Syaukani –
rahimahullah- namun Beliau
menambahkan, “
Jika suatu yang haram itu telah dilarang maka jalan menuju keharaman tersebut juga dilarang dengan melihat maksud pembicaran”
[3]. Bahkan diakatakan oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin –
rahimahullah-, “
termasuk
dalam ayat ini larangan melihat wanita yang bukan istrinya (yang tidak
halal baginya, pen.), mendengarkan suaranya, menyentuhnya, sama saja
apakah ketika itu dia sengaja untuk bersenang-senang dengannya ataupun
tidak”[4].
Dari penjelasan para ulama ini jelaslah bahwa pacaran dalam islam
hukumnya haram karena pacaran termasuk dalam perkara menuju zina yang
Allah haramkan ummat nabiNya untuk mendekatinya.
Jika ada yang mengatakan bahwa
pacaran belumlah dapat dikatakan sebagai perbuatan menuju zina,
maka kita katakan kepadanya bukankah orang yang paling tahu tentang
perkara yang dapat mendekatkan ummatnya ke surga dan menjauhkannya dari
api neraka telah mengatakan :
وَ احْفَظُوْا فُرُوْجَكُمْ وَ غَضُّوْا أَبْصَارَكُمْ وَ كَفُّوْا أَيْدِيَكُمْ
“
Jagalah kemaluan kalian, tundukkanlah pandangan-pandangan kalian dan tahanlah tangan-tangan kalian”.
[5]
Dalam hadits yang mulia ini terdapat perintah untuk menundukkan pandangan dan
hukum asal dari suatu
perintah baik itu perintah Allah ‘Azza wa Jalla ataupun perintah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dan adanya tunututan untuk
melaksanakan apa yang diperintahkan dengan segera[6].
Maka jelaslah bahwa pacaran adalah suatu yang diharamkan dalam islam.
Kemudian jika ada yang mengatakan
kalau seandainya pacaran tidak dibolehkan maka bagaimanakah dua orang insan bisa menikah padahal mereka belum saling kenal?
Maka kita katakan pada orang yang beralasan demikian dengan jawaban yang singkat namun tegas bukankah petunjuk Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk?
Bukankah Beliau adalah orang yang paling kasih kepada ummatnya tidak memberikan petunjuk yang demikian? Firman Allah
‘Azza wa Jalla,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, amt berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (At Taubah [9] : 128).
Kata
حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ pada ayat di atas ditafsirkan oleh
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –
rahimahullah- berarti bahwa,
“Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang mencintai kebaikan
kepada kita ummatnya, mengerahkan seluruh kesungguhannya dalam rangka
menyampaikan kebaikan kepada mereka, bersemangat untuk dapat memberikan
hidayah (irsyad, pent.) berupa iman kepada mereka,
tidak suka jika kejelekan menimpa mereka dan menegerahkan seluruh usahanya untuk menjauhkan mereka dari kejelekan”
[7]. Dengan demikian ayat di atas jelas menunjukkan bahwa Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
orang yang paling kasih pada ummatnya dan paling menginginkan kebaikan
untuk mereka namun Beliau tidaklah mengajarkan kepada ummatnya yang
demikian. Simak pula sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ
قَبْلِى إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ
مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ
“
Sesungguhnya tidak ada Nabi sebelumku kecuali wajib
baginya menunjukkan kepada umatnya kebaikan yang dia ketahui untuk
umatnya, dan mengingatkan semua kejelekan yang dia ketahui bagi umatnya…”.[8]
Maka hendak kemanakah lari orang yang berpendapat
kalau seandainya pacaran tidak dibolehkan maka bagaimanakah dua orang insan bisa menikah padahal mereka belum saling kenal? Bukankah Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan dan mempraktekkan bagaimana tatacara menuju pernikahan? Apakah Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengajarkan kepada kita cara mencari pasangan hidup dengan pacaran?
Wahai pengikut hawa nafsu hendak kemanakah lagi engkau palingkan sesuatu
yang telah jelas dan gamblang ini ??!!!
Kalau seandainya yang demikian dapat mengantarkan kepada kebaikan tentulah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada kita.
Sebagai penutup kami nukilkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang posisi shaf laki-laki dan perempuan dalam sholat, Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama, sejelek-jeleknya adalah yang paling akhir dan Sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling akhir, sejelek-jeleknya adalah adalah yang paling awal”.[9]
Maka renungkan wahai saudaraku
apakah lebih layak orang –bukan suami istri– yang
tidak sedang dalam keadaan beribadah kepada Allah untuk berdekatan,
berdua-duan dan bermesra-mesraan serta merasa aman dari perbuatan menuju
zina padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia mengatakan
yang demikian !!!??
Bukankah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan :
ما نَهَيتُكُمْ عَنْهُ ، فاجْتَنِبوهُ
“Semua perkara yang aku larang maka jauhilah”[10]
Allahu Ta’ala a’lam bish showaab, mudah-mudahan yang sedikit ini
dapat menjadi renungan bagi orang-orang yang masih melakukannya dan bagi
kita yang tidak mudah-mudahan Allah jaga anak keturunan kita darinya.
Menjelang malam, 17 Jumadi Tsaniyah 1430/11 Juni 2009.
Abu Halim Budi bin Usman As Sigambali
Yang selalu mengharap ampunan Robbnya
[1] Jika
tujuannya seperti ini saja terlarang bagaimana jika tidak dengan tujuan
yang demikian semisal hanya ingin berbagi rasa duka dan bahagia ??!!
Tentulah hukumnya lebih layak untuk dikatakan haram.
[2] Lihat
Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan hal. 431 terbitan Dar Ibnu Hazm Beirut, Libanon.
[3] Lihat
Fathul Qodhir hal. 258, terbitan Maktabah Syamilah.
[4] Lihat
Syarh Al Kabair hal. 60 terbitan Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Lebanon.
[5]
HR. Ibnu Khuzaimah no. 91/III, Ibnu Hibban no. 107, Al Hakim no.
358-359/IV, Ahmad no. 323/V, Thobroni no. 49/I dan Baihaqi no. 47/II,
dan dihasankan oleh Al Albani dalam
Ash Shahihah no. 1525.
[6] Lihat
Ushul Min Ilmi Ushul oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin –r
ahimahullah- hal. 24 terbitan Darul Aqidah Iskandariyah, Mesir.
[7] Lihat
Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan hal. 334 terbitan Dar Ibnu Hazm Beirut, Libanon.
[8] HR. Muslim no. 1844 dari jalan Ibnu Amr radhiyallahu ‘anhu.
[9] HR. Muslim no. 132 dan lain-lain.
[10] HR. Bukhori no. 7288, Muslim no. 1337.
Sumber : http://alhijroh.com/adab-akhlak/siapa-bilang-pacaran-haram/