Minggu, 30 Maret 2014
Selasa, 11 Maret 2014
Inilah Maksudku
Bukan maksudku menyakitimu
Juga mematahkan harapanmu
Tapi aku juga menyayangimu
Dan aku tak ingin kau terus berlarut
Percayalah, kau orang baik
Kau pantas mendapat yang lebih
Kalaupun kau takdirku,
suatu saat kita akan bertemu
di sebuah janji suci yang kau ikrarkan
Percayalah, jauh di lubuk hatiku
Aku pun menyayangimu
Tapi aku berbeda
Beginilah caraku menyalurkan perasaanku
Semoga kau mengerti
Juga mematahkan harapanmu
Tapi aku juga menyayangimu
Dan aku tak ingin kau terus berlarut
Percayalah, kau orang baik
Kau pantas mendapat yang lebih
Kalaupun kau takdirku,
suatu saat kita akan bertemu
di sebuah janji suci yang kau ikrarkan
Percayalah, jauh di lubuk hatiku
Aku pun menyayangimu
Tapi aku berbeda
Beginilah caraku menyalurkan perasaanku
Semoga kau mengerti
Minggu, 09 Maret 2014
Khowariqul Adat
Khowariqul Adat (Kejadian Luar Biasa)
1. Irhas
Kejadian luar biasa yang dimiliki oleh calon Nabi
2. Mukjizat
Kejadian luar biasa yang diberikan pada Nabi dan Rosul (Tongkat Nabi Musa As)
3. Karomah
Kejadian luar biasa yang dimiliki wali
4. Ma'unah
Kejadian luar biasa yang dimiliki orang-orang sholeh.
5. Sihir
Kejadian luar biasa yang dimiliki mu'min fasiq dan kafir.
6. Ayat Kauniah
Kejadian luar biasa yang dimiliki hewan dan tumbuhan.
Wallahu a'lam.
1. Irhas
Kejadian luar biasa yang dimiliki oleh calon Nabi
2. Mukjizat
Kejadian luar biasa yang diberikan pada Nabi dan Rosul (Tongkat Nabi Musa As)
3. Karomah
Kejadian luar biasa yang dimiliki wali
4. Ma'unah
Kejadian luar biasa yang dimiliki orang-orang sholeh.
5. Sihir
Kejadian luar biasa yang dimiliki mu'min fasiq dan kafir.
6. Ayat Kauniah
Kejadian luar biasa yang dimiliki hewan dan tumbuhan.
Wallahu a'lam.
Macam-macam Iman
1. Taqlid : Imannya seseorang yang tidak punya dalil. (ikut-ikutan)
2. Iman Ilmul Yaqin : Imannya seseorang dibarengi dengan ilmu dan dalilnya.
3. Iman Ainul Yaqin : Imannya seseorang dibarengi dengan ma'rifat (mengenal Alloh) dan tasdik (mengakui dan menerima)
4. Iman Haqul Yaqin : Imannya seseorang yang buta terhadap Alloh (selalu memikirkan Alloh)
5. Iman Haqiqat/ma'rifat : Imannya seseorang yang hatinya tidak ingat lagi terhadap selain Alloh (Alloh terus Alloh lagi)
6. Iman Haqiqatul Haqiqat : Imannya para Rasul.
Wallahu a'lam.
Indahnya hidup dengan berbagi^^
2. Iman Ilmul Yaqin : Imannya seseorang dibarengi dengan ilmu dan dalilnya.
3. Iman Ainul Yaqin : Imannya seseorang dibarengi dengan ma'rifat (mengenal Alloh) dan tasdik (mengakui dan menerima)
4. Iman Haqul Yaqin : Imannya seseorang yang buta terhadap Alloh (selalu memikirkan Alloh)
5. Iman Haqiqat/ma'rifat : Imannya seseorang yang hatinya tidak ingat lagi terhadap selain Alloh (Alloh terus Alloh lagi)
6. Iman Haqiqatul Haqiqat : Imannya para Rasul.
Wallahu a'lam.
Indahnya hidup dengan berbagi^^
Tauhid
*ILMU->MABADI (Persiapan)
1. Ta'rif (Definisi) = Apa definisi ilmu tauhid?
2. Maudlu (Sasaran) = Apa sasarannya?
3. Tsamroh (Hasil) = Bagaimana hasil dari mempelajari ilmu tauhid?
4. Fadlu (Keutamaan) = Apa keutamaan mempelajari ilmu tauhid?
5. Nisbat (Hubungan) = Apa hubungan ilmu tersebut dengan ilmu yang lain?
6. Wadi (Gagasan) = Siapa yang menggagaskan ilmu tauhid?
7. Ismu (Nama lain) = Apa nama lain dari ilmu tauhid?
8. Istimdad (Sumber hukum) = Dari mana sumber hukum ilmu tauhid?
9. Hukum = Apa hukum mempelajari ilmu tauhid?
10. Masa'il (Masalah) = Apa saja masalah-masalah yang ada di ilmu tauhid?
Jawaban:
1. Mengetahui segala sesuatu itu satu disebut ilmu tauhid.
2. Allah, Rasul, Aqidah.
3. Bahagia dunia akhirat, iman.
4. Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia.
5. Pokok/dasar dari segala ilmu.
6. Imam Al-As'ary dan Imam At-Maturidy.
7. Ilmu kalam, usuludin, aqidah, ma'rifat, uluhiyah.
8. Dalil aqli dan dalil naqli (Qur'an dan Hadits)
9. Fardu 'ain (kewajiban individu semuanya)
10. Wajib, jaiz, mustahil.
Wallahu a'lam.
1. Ta'rif (Definisi) = Apa definisi ilmu tauhid?
2. Maudlu (Sasaran) = Apa sasarannya?
3. Tsamroh (Hasil) = Bagaimana hasil dari mempelajari ilmu tauhid?
4. Fadlu (Keutamaan) = Apa keutamaan mempelajari ilmu tauhid?
5. Nisbat (Hubungan) = Apa hubungan ilmu tersebut dengan ilmu yang lain?
6. Wadi (Gagasan) = Siapa yang menggagaskan ilmu tauhid?
7. Ismu (Nama lain) = Apa nama lain dari ilmu tauhid?
8. Istimdad (Sumber hukum) = Dari mana sumber hukum ilmu tauhid?
9. Hukum = Apa hukum mempelajari ilmu tauhid?
10. Masa'il (Masalah) = Apa saja masalah-masalah yang ada di ilmu tauhid?
Jawaban:
1. Mengetahui segala sesuatu itu satu disebut ilmu tauhid.
2. Allah, Rasul, Aqidah.
3. Bahagia dunia akhirat, iman.
4. Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia.
5. Pokok/dasar dari segala ilmu.
6. Imam Al-As'ary dan Imam At-Maturidy.
7. Ilmu kalam, usuludin, aqidah, ma'rifat, uluhiyah.
8. Dalil aqli dan dalil naqli (Qur'an dan Hadits)
9. Fardu 'ain (kewajiban individu semuanya)
10. Wajib, jaiz, mustahil.
Wallahu a'lam.
Dia
Angin
malam yang berembus lembut, basahnya genting yang kuinjak, langit malam yang
menawan mata dengan titik-titiknya yang bercahaya, membuatku semakin nyaman
dengan suasana malam ini. Inilah kebiasaan yang sering kulakukan, untuk
menghilangkan beban yang membuat pikiran dan hatiku tak keruan. Aku pergi keluar
kamar lalu bergegas menuju lantai atas. Aku duduk di atas genting sambil
menikmati malam yang begitu tenang. Tak peduli sedingin apapun malam ini,
asalkan langit penuh dengan cahaya bintang. Angin malam pun serasa menjadi
hangat bagiku. Mengenang seseorang yang telah pergi. Seseorang yang sangat
berarti untukku, dan membuatku lemah akan cinta.
Untuknya
***
Malam ini adalah
malam yang agung bagi seluruh umat islam. Pergantian tahun hijriyah telah tiba,
dan semua umat muslim merayakannya dengan kesederhanaan. ‘Pawai obor’. Ya,
perayaan itulah yang sering dilakukan di daerahku, untuk memperingatinya. Aku
dan Agus tak ingin melewatkan perayaan ini. Aku berangkat pukul 5 sore bersama
Agus. Kami pergi menggunakan sepeda motor agar lebih cepat menuju masjid tujuan
kami.
“Bisa sambil ngeceng
nih, Mad,” canda Agus sesampainya di masjid yang mulai dipadati oleh
santri-santri pesantren lain.
“Hahaha.. dasar kamu,
Gus, paling sigap kalau masalah perempuan,“ ucapku.
“Hehe..kan menyelam
sambil minum air, Mad,” katanya lagi.
“Iya iya, Gus,
terserah kamu saja.”
Aku hanya menanggapinya
dengan wajar, karena sebagai lelaki normal, pasti akan ada niat seperti itu.
Kami pun berjalan menuju masjid sambil memperhatikan orang-orang di sekeliling
kami. Kami pun sampai di depan pintu masjid.
“Mad! Perempuan itu,
Mad! Cantiknya…” Agus menepuk pundakku dan menunjuk seorang wanita yang berada
tak jauh dari kami.
“Mana, Gus, yang
mana?” tanyaku yang kebingungan dengan sikap Agus.
“Itu yang memakai
kerudung ungu, pakaiannya juga berwarna ungu. Cantik, kan, Mad?”
“Hmm.. biasa aja ah,
Gus, haha...” kataku setengah meledek.
“Ah, Ahmad Ahmad..
dari dulu kau itu tak pandai kalau masalah perempuan,” Agus hanya menggelengkan
kepalanya.
“Memang tidak. Kalau
aku pandainya tentang pelajaran, Gus,” godaku. “Udah ah, Gus. Yuk masuk, acaranya
udah dimulai,” ajakku pada Agus.
Di dalam masjid, ternyata
sudah banyak masyarakat yang begitu antusias dalam acara pawai obor ini. Kami
mulai mencari tempat duduk yang tampaknya sudah penuh oleh yang lain. Beberapa
lama kemudian, akhirnya ada panitia yang membantu mencarikan tempat duduk untuk
kami berdua. Tempat duduk yang sudah diatur, terpisah antara laki-laki dan
perempuan, menandakan acara ini bukan acara yang biasa.
Setelah menemukan
tempat duduk, kami mulai menyimak acara yang sebentar lagi akan dimulai.
Acaranya terdiri dari pembukaan, sambutan, tausiyah, sesi tanya jawab
berhadiah, do’a akhir tahun dan acara puncak, yaitu pawai obor. Saat aku
memperhatikan tausiyah, tak sengaja aku melihat seorang wanita. Sepertinya ia wanita muslimah. Ia
berpenampilan serba biru. Kulihat sebuah kamera terkalung di lehernya, tak lupa
nametag yang juga ia kenakan. Pasti ia panitia di sini, dan mungkin ia
yang mendokumentasikan acara ini, pikirku. Tapi, entah mengapa ia begitu
memikatku, yang biasanya sulit tertarik dengan wanita manapun.
“Gus, kau lihat tidak
perempuan yang pakaiannya serba biru itu?” tanyaku kepada Agus.
“Perempuan yang mana,
Mad?” tanya Agus sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
“Eehh.. itu tuh yang
di depan, yang membawa kamera,” tunjukku mengalihkan pandangan Agus pada wanita
tersebut.
“Oh, iya, emang
kenapa, Mad? Kamu suka, ya?” goda Agus sambil tersenyum simpul.
“Hmm, gak apa-apa, aku
cuma bertanya saja,” jawabku malas.
“Ah, cie Ahmad,
kasmaran, haha…” ia terkekeh melihatku.
“Hahaha, iya terus
kenapa, Gus? Gak boleh, ya,”
“Haha ya boleh, malah
bagus. Biar kamu gak murung terus gara-gara masa lalu kamu itu, Mad,” kata Agus
dengan mimik muka serius.
“Hmmm… kamu, masa
lalu dibicarakan lagi. Udah ah, fokus lagi sama acaranya,” Agus hanya
mengangguk dan tersenyum kecil.
Aku berusaha untuk fokus,
tapi sebenarnya pikiranku sudah kacau akibat dari memikirkan wanita serba biru
tadi. Parasnya yang anggun, senyum tipis yang manis, matanya yang sipit semakin
membuatku tak ingin berhenti memandanginya. Andai
saja aku bisa berkenalan dengannya, bertanya siapa namanya, dan bisa lebih
dekat dengannya. Walau kini dia sudah tak berada di hadapanku, tapi pikiran
dan hatiku seperti sudah terkunci untuk membayangkan perempuan itu. Tak terasa,
waktu pun berlalu. Kami akan menutup tausiyah ini dengan berdoa di akhir tahun.
Aku harus fokus! bisikku dalam hati.
Setelah itu, kami bersiap-siap untuk shalat maghrib berjamaah.
“Hey, Mad, jangan
banyak dilamunin tapi action, dong!
Deketin dia, ajak ngobrol, tanyain namanya, kalau bisa minta saja nomornya,
hehe..” tiba-tiba Agus membuyarkan lamunanku yang baru selesai berwudhu. Ya karena
wanita serba biru itu, dalam sekejap telah membuatku terus memikirkannya.
“Apa sih, Gus, kayak
yang tidak tahu aku saja. Mengajaknya berbicara? Mendekati perempuan saja, aku gemetaran,
apalagi mengajaknya berbicara, bisa-bisa pingsan aku, Gus. Memangnya kamu mau, menggendongku
kalau aku pingsan?” candaku pada Agus.
“Ya.. gak maulah..
tapi sampe segitunya sih, Mad, kamu sama perempuan yang kamu suka! Parah nih si
Ahmad,” Agus mendecak kesal.
“Hahaha.. iyaa itulah
aku gus.. lagi pula belum tentu kan, aku suka sama perempuan itu. Sudah, aku
mau shalat dulu,” kataku sambil berlalu darinya menuju masjid.
Seusai sholat, semua
rombongan yang mengikuti pawai obor, dipersilakan untuk segera menuju halaman
masjid. Pembagian obor pun dilakukan dan kami diberi pengarahan oleh salah
seorang panitia. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang
sedang membagikan obor, ada yang sibuk memberi pengarahan, dan ada juga yang
sibuk mendokumentasi. Dokumentasi? Aku
teringat pada wanita yang mengalungkan kameranya itu. Kupicingkan mataku, lalu
kubiarkan pandanganku berkeliling mencari seseorang yang sedang mengisi pikiranku
saat ini. Ya perempuan itu!
“Ehem! Pasti lagi
nyari perempuan yang bawa kamera itu ya, Mad. Hahaha… Ahmad jatuh cinta di malam
tahun baru,” lontar Agus tiba-tiba.
“Apaan sih, Gus.
Nggak ko, cuman lagi nyari toilet,” kataku yang membohongi Agus.
“Alaahh, kau jago
sekali kalau soal ngeles, Mad,
jujurlah! Aku kenal kamu bukan 1 atau 2 hari, aku kan teman SMP dan SMA mu, sudah
hampir 6 tahun kita bersama. Aku tahu sifat dan sikap kamu seperti apa,
termasuk saat kamu berbohong. Kamu suka, kan, pada perempuan yang berkerudung
biru itu?” tanya Agus yang masih penasaran. Aku menghela napas panjang.
“Hmm.. iya, Gus,” akhirnya
aku mengakui perasaanku.
“Naahh gitu, dong. Lagi
pula aku setuju kok. Kalau kamu mau berusaha, pasti kamu bisa,” ucap Agus yang
menyemangatiku.
“Tapi, Gus, apa aku
bisa? Kamu tahu kan, bagaimana aku jika menyangkut masalah perempuan,”
“Aduh, Ahmad..Ahmad,
menyerah sebelum berperang. Kau sendiri yang bilang padaku waktu itu. Cinta itu adalah salah satu sumber kekuatan,
yang membuat manusia bisa melakukan apa yang sebelumnya tidak dapat dilakukan.
Ayolah, Mad, buktikan kata-kata teguhmu itu. Jangan jadi kata-kata yang terbuang
sia-sia,” tegas Agus. Ya aku ingat, aku
pernah berkata itu pada agus.
“Alaahh.. ya sudah
jangan terlalu dipikirkan, nanti kamu pingsan, terus bisa-bisa aku yang repot,”
canda Agus padaku yang terus membisu. Aku pun langsung tertawa bersamanya.
Selang beberapa lama,
semua rombongan telah mendapatkan obor bambunya, lalu panitia membantu
menyalakan obor, satu persatu. Setelah semua menyala, kami dan rombongan yang
lainnya mulai berjalan, dipimpin panitia yang berada di depan.
Malam yang indah
membuat kami semakin bersemangat, seperti obor yang kami pegang, berapi-api. Kami
berjalan dengan diiringi sholawat dan puji-pujian, yang kami tujukan pada Allah
dan Rasulullah, membuat kami tak memikirkan rasa lelah yang kian mendera. Ketika
aku ikut bersholawat, wanita yang memikatku tadi datang dengan kameranya, dan
kini ia berada di depanku. Dia sedang sibuk mendokumentasikan, tapi tak
mengarahkan kameranya kepadaku. Ketika ia sedang memotret, aku bertingkah so’
akrab padanya.
“Hey foto di sininya
juga, dong!!” teriakku kepada perempuan serba biru itu.
Dia mengalihkan
pandangannya ke arahku, lalu ia tersenyum. Ia langsung mengarahkan kameranya, menandakan ia akan memotretku. Aku bingung
harus bergaya seperti apa, kuajaklah Agus agar aku bisa lebih percaya diri. Blitz kamera berkali-kali menyala, membuatku
tahu jika ia memotretku beberapa kali. Merasa cukup, ia melihat ke arahku. Ia pun
tersenyum kembali, lalu sibuk memotret yang lain. Aku sangat bersyukur, malam
yang agung ini aku dipertemukan dengan seorang kaum hawa, yang sekejap
mengalihkan pikiranku.
“Cie disenyumin..” Agus
menggodaku.
“Iya, Gus,
kelepek-kelepek aku, Gus,” aku pun tertawa.
“Bisa lebay juga kamu,
Mad, haha”
Tak terasa kami sudah
berkeliling jauh dan kami sudah sampai di tempat semula, masjid. Obor-obor kami
pun dipadamkan, dibantu juga oleh para panitia. Semua rombongan tampak lelah. Panitia
mulai membagikan konsumsi. Aku dan Agus duduk di halaman dekat masjid. Saat
kami sedang menyantap konsumsi, seseorang memanggilku.
“Kang Ahmad!” Aku langsung
mencari seseorang yang memanggilku. Ternyata dia Azis, adik kelas di sekolahku.
“Hei, Zis.. kamu ikut
pawai obor juga?” tanyaku karena tak melihatnya saat pawai berlangsung.
“Tidak, Kang. Saya
sebagai panitia, saya ditugaskan untuk mengatur rombongan di depan,” jelasnya.
“Oh, pantesan, tadi
gak keliatan,” kataku. Tak sengaja, aku melihat wanita serba biru itu lagi, aku
langsung bertanya pada Azis.
“Hmm.. Zis, akang mau
nanya, kamu kenal perempuan yang pake kerudung biru itu?” tunjukku pada wanita
itu.
“Oh, kenal dong, Kang.
Namanya Mia, seksi dokumentasi di acara ini. Dia juga temen sekelas saya, Kang.
Memang kenapa, Kang?” ia balik bertanya.
“Oh, Mia. Hehe tidak,
Zis. Cuma nanya aja, makasih, ya,” aku pun tersenyum. Azis pun pamit untuk
meninggalkan kami karena ia akan bertugas kembali.
Aahh
ya Tuhan ternyata namanya Mia, dan dia satu sekolah denganku, dia juga adik
kelasku!
Bahagianya aku bisa mengetahui namanya, walau tak bertanya langsung padanya. Waktu
sudah menunjukkan pukul 10 malam. Selesai beristirahat, sampailah di acara penutupan.
Agus pamit untuk pulang lebih dulu, karena mendapat tugas dari ibunya. Saat aku
siap-siap untuk pulang, aku berpapasan dengan wanita serba biru itu.
“Kang, nanti fotonya
saya tandain, ya, di facebook,”
katanya sambil tersenyum padaku.
Aku salah tingkah. Aku
hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan mengangguk setuju. Lalu ia pun pergi
dengan senyuman manis di bibirnya. Bahagianya aku malam ini, ternyata ia mengenalku.
Aku tak mengerti bagaimana dia bisa mengenalku sedangkan aku sendiri baru melihatnya
sekarang? Perasaan bahagia, bingung dan tak mengerti pun bersatu. Bayangan wanita
itu terus memenuhi pikiranku saat aku di perjalanan untuk pulang. Semoga aku bisa
bertemu dengannya nanti. Ya, bertemu dengannya, yang akan menambah keindahan
hidupku ini. Wanita bernama Mia. Ya, Mia.
Untuknya
Cinta
itu membahagiakan
Tergantung
cara kita memunculkanya
Perasaan
tidak akan membohongi hati
Dan
tak bisa ku pungkiri bahwa hatiku ini telah terjatuh
Sesosok
bidadari biru yang langsung menggodaku
Merubah
hidup ku yang keluh dengan masa lalu
Berubah
sekejap menjadi sebuah anugerah yang indah untuk ku
Memutarbalikan
semua kenangan buruk tentang rasa dan hati
Menghilangkan
lamunan ku tentang masa lalu yang gelap menjadi masa depan yang terang
Kau
muncul dengan kesederhanaanmu yang indah
Bayangan
mu yang terus berputar
Membuat
ukiran yang perlahan muncul di hati dan pikiranku
Walau
ku tahu ku tak akan bisa memilikimu
Tapi
aku manusia…
Manusia
yang berhak berharap dengan harapan yang tak pasti
Karena
aku tahu Tuhanlah yang maha tahu
Dan
Dia lah yang paling tahu apa yang terbaik untuk hambanya
Termasuk
aku…
By: M Sirod M
Sabtu, 08 Maret 2014
Jumat, 07 Maret 2014
Jejak Kenangan
Sumber cahaya
terbesar mulai menampakkan sinarnya. Rerumputan dipenuhi dengan embun yang
memantulkan sinar mentari, membuat kilaunya terlihat indah. Pagi yang cerah
menyambut hari istimewaku. Hari ini merupakan hari ulang tahunku yang ke-17.
Orang-orang biasa menyebutnya dengan ‘Sweet
Seventeen’. Aku berharap, ada seseorang yang bisa membuat hari ini begitu
istimewa. Mungkinkah dia tahu hari ini?
tanyaku pada diri sendiri.
Kutunggu dengan debar yang tak
biasa. Sesekali kupandangi ponsel yang kusimpan di atas meja belajar. Berharap
‘dia’ menjadi orang pertama yang mengucapkannya. Namun harapan hanya tinggal harapan,
kutunggu dari pukul dua belas malam hingga pukul enam pagi, tapi ia tak
mengucapkannya sama sekali. Aku
tersenyum kecut. Ya sudahlah, dia kan
bukan siapa-siapaku. Aku langsung bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Ayah
dan ibuku memberi ucapan selamat. Setidaknya,
mereka masih ingat dengan hari ini, meskipun tidak akan ada perayaan mewah
seperti teman-teman pada umumnya.
***
“Hai,
Mia! Selamat ulang tahun, ya!” tiba-tiba Via ---sahabatku--- mencubit dan
menampar pipiku di depan pintu kelas. Ternyata, dia sudah menungguku dari tadi.
Aku langsung memeluknya, dan berterima kasih padanya karena ia telah ingat
dengan hari jadiku. Teman-teman yang mendengar langsung menoleh pada kami, lalu
mereka pun bergantian mengucapkan ‘Selamat Ulang Tahun’ padaku. Tapi, tidak
dengan lelaki yang sedang duduk di bangku itu. Ia terkesan tak peduli dengan
apa yang terjadi di sekitarnya.
“Ri,
kamu gak akan ngucapin tuh ke Mia? Lihat deh, dari tadi dia melihat ke arahmu
terus!” tanya Via yang suaranya terdengar sampai ke telingaku.
“Ah,
nanti saja. Hmmm, dia kan punya mata. Ya biarkan saja dia melihat kemanapun
yang ia suka,” jawab Fahri ketus. Aku sungguh kecewa dengan jawabannya. Tapi, untuk apa aku marah? Aku kan bukan
siapa-siapanya, aku hanya pengagum rahasia yang belum bisa berkata jujur
padanya. Biarkan sajalah, yang
penting, hari ini harus menjadi hari yang paling menyenangkan! Aku kembali tersenyum.
Via
datang menghampiriku. Ketika ia akan berbicara, aku langsung membuka mulut,
“Sudahlah, aku sudah tahu apa yang akan kamu bicarakan,” kataku seraya
mengembangkan senyum termanisku. Via tak menjawab apapun, yang ia lakukan hanyalah
mengusap punggungku. “Aku tidak apa-apa, Vi. Serius deh,” nadaku meyakinkan.
Via mengangguk dan tak membahasnya lagi.
***
Malam
telah tiba, dan Fahri masih membungkam mulutnya. Ah, lebih baik aku tidur saja, ucapku dalam hati. Aku langsung
menutup badanku dengan selimut. Satu jam kemudian, ponselku bergetar, dan
akupun terbangun. Ternyata ada satu pesan dari Fahri. Ia sengaja memilih
menjadi orang yang terakhir untuk mengucapkan selamat padaku. Aku hanya
tersenyum membaca pesannya, lalu kembali memejamkan mata tanpa membalasnya.
Tiba-tiba ponselku bergetar cukup lama. Setelah kulihat, ternyata Fahri
meneleponku. Ketika kuangkat, ia mematikan secara sepihak. Kenapa dia ini? Lalu ada lagi yang meneleponku, hanya saja, yang
ini disembunyikan nomornya.
“Mi,
pesanku sampai?” suaranya terdengar khas di telingaku. “Aku minta maaf, ya,
baru mengucapkannya sekarang,” lanjutnya
“Fahri,
ya? Tidak apa-apa, kok. Terima kasih, ya. Maaf, ini sudah malam, tadi aku sudah
tidur, jadi pesanmu tidak sempat kubalas,” kataku panjang lebar.
“Eh,
iya, harusnya aku yang meminta maaf. Aku telah mengganggu waktu istirahatmu. Ya
sudah, sampai jumpa besok di sekolah, ya. Maaf aku tidak bisa memberikan
apa-apa padamu, assalamu’alaikum,” aku hanya menjawab salamnya saja, karena
takut ayah dan ibuku terbangun mendengar percakapanku dengan Fahri.
Keesokan harinya, aku belajar dengan
giat, karena hari Senin adalah hari pertamaku melaksanakan ujian kenaikan
kelas.
Hari pertama ujian, aku bisa
mengerjakannya dengan baik. Meskipun aku sendiri tidak tahu, jawabanku benar
atau tidak. Tiba-tiba saja, sikap Fahri padaku menjadi berbeda. Setiap ia
melihatku, senyum simpul selalu merekah di bibirnya. Ah, jangan geer maksimal, Mi! Dalam perjalanan pulang, ponselku
mati karena habis baterai, padahal sebelumnya kulihat ada satu pesan dari
Fahri. Aku berjalan tergesa-gesa menuju rumah. Penasaran dengan isi pesan yang
dikirim Fahri lima belas menit yang lalu.
“Mi, aku memang bukan seseorang
yang pandai merangkai kata sepertimu. Namun, ternyata perasaan ini semakin
mendesakku, agar segera berbicara padamu. Aku menyukaimu. Entah sejak kapan,
entah apa penyebabnya, yang jelas aku menyukaimu, Mi. Aku siap dengan jawaban
apapun. Yang terpenting, aku sudah memberanikan diri untuk mengungkapkan semua
ini.”
Aku terkejut dengan isi pesan
tersebut. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku belum siap untuk menjalin
kasih lagi. Akhirnya kuputuskan untuk menjadi sahabat spesial saja. Mungkin ini
aneh, karena aku juga menyukai Fahri. Tapi, separuh hatiku masih tertinggal di
kekasih lamaku. Fahri harus berjuang keras untuk merebutnya.
***
Semenjak terkirimnya pesan itu, aku dan
Fahri lebih dekat dari sebelumnya. Meskipun kami tidak berpacaran. Kami sering
bertukar cerita dan berbagi ilmu. Itulah yang kusuka dari Fahri. Ilmu yang ia
punya begitu luas, dan membuatku terkagum-kagum. Apalagi dengan ilmu agamanya. Selain
menjadi seorang siswa di sekolah, ia juga seorang santri di pesantren dekat sekolahku.
Karena itulah, aku tidak mengiyakan, ketika diajak berpacaran.
Dua minggu kemudian, aku berencana
untuk pergi ke bioskop dengan Fahri. Namun gagal, karena tak ada satupun film
yang membuatku tertarik. Akhirnya, kami pergi ke toko buku. Setelah sampai di
sana, kamipun membaca buku yang kami inginkan.
“Mi,
ini ceritanya bagus, tentang seorang ibu dan anaknya,” ucap Fahri sambil
menyodorkan sebuah buku.
“Emang
kamu ngerti, buku yang bagus itu yang kayak gimana?” jawabku setengah meledek.
Fahri menatapku sinis. Aku terkekeh melihatnya, ia pun ikut tersenyum. Beberapa
jam kemudian, cacing di perutku mulai berteriak, “Lapaaar….” Aku langsung
mengajak Fahri untuk mencari makan.
“Kamu
lapar? Mmm, aku tahu tempat makanan yang enak, tapi murah! Ayo, naik ke motor!”
ajaknya.
***
Kami langsung makan dengan lahap.
Saat aku sedang makan, ada sekumpulan lelaki yang melihatku. Aku risih dan
langsung berkata pada Fahri. Fahri menatap balik ke arah mereka, dan akhirnya
mereka pun pergi. Setelah selesai, kami pergi ke masjid untuk beribadah.
Kemudian, kami bergegas untuk pulang ke rumah.
“Kamu
sih enak, uangnya habis tapi jelas barangnya. Membeli buku, dan kerupuk untuk
kakakmu. Lah aku? Habis hanya untuk membayar parkir,” kata Fahri di perjalanan
pulang.
“Aduh,
maaf, ya. Aku ganti uangmu, berapa semuanya?” kataku sambil merogoh saku
jaketku.
“Hahaha….aku
hanya becanda, Mi, tenang saja. Tidak apa-apa ko, lagian kan tidak seberapa.
Aku minta maaf, ya? Aku tidak bisa membelikanmu apa-apa. Bahkan, makan saja,
kita harus bayar masing-masing. Harusnya aku yang bayar semuanya, termasuk
makanan kamu,” ujarnya dengan nada pelan di akhir kalimat. Aku hanya tersenyum
saja tanpa menjawab kata-katanya.
Setengah jam kemudian, kami sampai
ke depan rumahku. Kakakku sedang berdiri tepat di halaman rumah yang cukup luas.
Aku dan Fahri segera turun dari motor. Lalu Fahri mencium tangan kakakku. Ah, ia sopan sekali! gumamku dalam hati.
“Fahri,
ya? Mia sering bercerita pada kakak tentangmu,” ucap kakak sambil mendelik ke
arahku. Aku memukul bahunya. Fahri menggaruk kepala yang tak gatal. “Sini masuk
dulu, Fahri. Tidak usah malu-malu padaku,” lanjutnya.
Kakak perempuanku yang hanya
satu-satunya ini memang sangat cerewet. Banyak hal yang ia perbincangkan dengan
Fahri. Kakak membuat aku malu saja! Setelah
satu jam, Fahri berpamitan pulang. Aku mengantarnya sampai ke depan rumah, dan
melambaikan tangan padanya.
“Cieee,
manis juga tuh, Mi,” goda kakakku.
“Apaan
sih, Kak?” wajahku seketika memerah. Akupun tersenyum.
***
Dua bulan berlalu. Ada yang berbeda
dengan Fahri. Akhir-akhir ini, ia lebih banyak menghindar. Ada apa, ya? tanyaku pada diri sendiri.
“Vi,
kata kamu, ada yang berubah gak dari Fahri?” tanyaku pada Via yang baru muncul
di balik pintu kelas.
“Ada!
Jadi sering bareng kamu, kan?” jawabnya setengah tersenyum.
“Ih,
bukan itu! Kerasa gak sih, kalau dia akhir-akhir ini kayak yang menjauh dari
aku,” Via hanya menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tak merasakan perubahan
apapun dari Fahri. Aku pun berhenti memikirkannya, karena kupikir itu tak ada
gunanya.
Bel pulang berbunyi. Semua siswa
begitu gembira ketika mendengarnya. Aku dan yang lain cepat-cepat pulang, untuk
mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh guru kimia.
***
Malam pun tiba. Ketika aku sedang
berkonsentrasi mengerjakan soal, ponselku bergetar. Ternyata ada pesan masuk
dari Fahri. Setelah kubaca pesannya, tak terasa cairan bening dari mataku
meleleh dan membasahi boneka beruangku.
Maaf aku tidak bisa bersamamu lagi,
Mi. Aku takut menyakitimu lebih banyak. Aku kasihan dengan orang-orang yang
dekat denganku, khususnya kamu. Pasti aku sering menjadi penyebabmu sakit hati.
Intinya aku minta maaf, jika aku sering menyakitimu, juga perasaanmu. Mungkin,
dan semoga saja ini yang terakhir kalinya aku menyakitimu.
Aku cepat-cepat menghapus air mataku
dan membalas pesan Fahri. Dia hanya berargumen, “Aku tak ingin menyakitimu, Mi.” Aku semakin bingung. Yang
kulakukan hanyalah menangis. Saat akan kutelepon, ponselnya sudah tak aktif.
Tangisku malah semakin menjadi. Aku menyumpal mulutku dengan selimut, agar suara
tangisku tak terdengar sampai keluar kamar.
Keesokan harinya, mataku sembab dan
sedikit membengkak. Mungkin karena menangis semalaman. Di kelas, aku tak berani
berbicara sepatah katapun.
“Mi,
are you okay?” tanya Via padaku. Aku
tak menjawab apa-apa. “Mi, kenapa? Ada masalah? Cerita, dong, Mi!” Via
mengulang pertanyaannya dengan nada meninggi.
“Aku
baik-baik saja, Vi. Biasa aja kali nanyanya, gak usah sewot gitu,” jawabku
setengah tertawa.
“Kamu
gak akan bisa bohong sama aku, Mi. Kamu ada masalah apa? Mungkin aku bisa
bantu,” ucapnya dengan nada direndahkan. Akhirnya, aku bercerita pada Via.
Tentang Fahri, tentang tadi malam, dan tentang pesan-pesan yang ia kirimkan
padaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Via langsung memelukku dengan erat.
Pelukan sahabat memang obat yang paling tepat bagiku saat ini.
“Mi,
kamu sudah bertanya langsung pada Fahri?” tanya Via. Aku mengangguk pelan.
Dengan cepat, aku menghapus air mata yang membanjiri kedua pipiku. “Sudah,
jangan menangis lagi. Ada Fahri, tuh. Sabar, ya, Mi. I know that feel,” sambung Via.
Semenjak itu, aku menjadi pemurung.
Berbeda dengan yang kemarin-kemarin. Setelah pulang sekolah, aku langsung
berlari ke kamar. Mengunci pintu dan menyumpal mulutku lagi dengan selimut. Dan
untuk yang kesekian kalinya, aku menangis. Tak peduli dimana dan kapan, aku
selalu menangis jika mengingat pesan yang dikirim Fahri. Dua hari penuh, air
mataku selalu terjatuh. Mataku semakin sayu.
Kupikir-pikir lagi, rasanya ini
berlebihan. Aku mencoba menata hatiku yang berantakan. Memulai hari yang baru,
meskipun hubunganku dengan Fahri tidak senyaman dulu lagi. Memang sejak itu,
kami tidak pernah bertegur sapa. Kami seperti orang yang belum pernah bertemu. Tapi,
aku selalu berusaha agar hubungan kami bisa seperti dulu lagi.
***
Tiga bulan berlalu. Aku mulai
terbiasa dengan keadaan ini. Sesekali, aku menjenguk akun jejaring sosialnya.
Sekadar mencari tahu, dengan siapakah ia sekarang. Sampai suatu hari, kulihat
percakapannya dengan seorang wanita yang tak kukenal. Aku langsung membaca
percakapan mereka di timeline milik
Fahri. Dan ternyata, wanita itu adalah kakak kelas Fahri ketika di SMP, dan
mereka membicarakan mantan kekasih Fahri.
Semakin jauh kubaca, kutemukan
kebenaran di sana. Ternyata cinta lama Fahri bersemi kembali. Wajahku terasa
panas. Aku berusaha untuk menahan kecemburuanku. Namun, aku gagal. Dadaku
semakin sesak dibuatnya. Tenggorokanku semakin sakit akibat menahan tangis. Aku
memberanikan diri untuk bertanya pada Fahri melalui pesan singkat. Namun, tak
ada balasan. Keesokan harinya, Fahri memanggilku dan menjawab pertanyaanku yang
tadi malam. Ternyata benar, dia memang kembali pada masa lalunya. Dia mengakui
hal yang tak pernah kuduga, dia menyayangiku , tapi ia juga masih
menyayanginya. Seketika tubuh ini terasa ringan. Aku hampir terjatuh
mendengarnya.
Butiran kristal bening itu kembali
meleleh. Aku langsung berlari menuju toilet. Mencuci muka agar mataku tidak
terlihat merah. Setelah mampu menenangkan diri, aku kembali ke kelas dengan membubuhkan
sedikit senyuman di bibirku. Via langsung mendekatiku. Entah mengapa, ia selalu
tahu dengan apa yang kurasakan, meskipun aku belum menceritakannya.
***
Aku pulang ke rumah dengan keadaan sendu.
Ternyata dia penyebabnya, penyebab Fahri meninggalkanku. Kubuka laptopku dan
membuka jejak kenangan masa lalu, yang pernah kulukiskan bersama Fahri,
ditemani dengan lagu kenangan kami berdua. Kutengok lagi foto-foto yang merekam
kebersamaan kami, membuatku harus menitikkan air mata, entah untuk yang kesekian
kalinya.
Rasanya ini lebih sakit daripada
masa laluku. Ketika aku sudah berhasil menyayanginya, ia malah pergi
meninggalkanku. Menyisakan sejuta kenangan indah yang telah dilalui bersama. Aku
benci diriku sendiri! Aku sulit menetralkan perasaanku pada Fahri. Kepada siapa
seharusnya aku akan melabuhkan hatiku?
Fahri…kuharap engkaulah pelabuhan cinta
terakhirku… bisikku lirih.
Rabu, 05 Maret 2014
Haruskah Kami Hancur
Pertengkaran ini terasa sudah tak asing lagi. Bukan satu atau dua gelas yang terbang tak tentu arah. Terkadang harus ada si kecil nan tajam yang membuahkan cairan berwarna merah kental. Adikku memeluk erat tubuhku. Bibirnya bergetar hebat. Ia menahan tangis, tatkala pertengkaran itu sampai ke puncaknya. Ayah dan ibu memutuskan untuk berpisah. Mungkin benang merah harus putus di tengah jalan. Tetesan air mengetuk pintu sudut kelopak mataku. Aku tak mengerti mengapa harus seperti ini akhirnya. Masa depan kami dipertanyakan. Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Kami korban perceraian diambang kehancuran. Tak tahu harus pulang pada siapa.
Langganan:
Postingan (Atom)