Selasa, 11 Maret 2014

Siluet di sekolah (SMKN 11 Bandung)

Ini hanya masalah Waktu


Inilah Maksudku

Bukan maksudku menyakitimu
Juga mematahkan harapanmu
Tapi aku juga menyayangimu
Dan aku tak ingin kau terus berlarut

Percayalah, kau orang baik
Kau pantas mendapat yang lebih
Kalaupun kau takdirku,
suatu saat kita akan bertemu
di sebuah janji suci yang kau ikrarkan

Percayalah, jauh di lubuk hatiku
Aku pun menyayangimu
Tapi aku berbeda
Beginilah caraku menyalurkan perasaanku
Semoga kau mengerti

Minggu, 09 Maret 2014

Khowariqul Adat

Khowariqul Adat (Kejadian Luar Biasa)

1. Irhas
    Kejadian luar biasa yang dimiliki oleh calon Nabi
2. Mukjizat
    Kejadian luar biasa yang diberikan pada Nabi dan Rosul (Tongkat Nabi Musa As)
3. Karomah
    Kejadian luar biasa yang dimiliki wali
4. Ma'unah
    Kejadian luar biasa yang dimiliki orang-orang sholeh.
5. Sihir
    Kejadian luar biasa yang dimiliki mu'min fasiq dan kafir.
6. Ayat Kauniah
    Kejadian luar biasa yang dimiliki hewan dan tumbuhan.

Wallahu a'lam.

Macam-macam Iman

1. Taqlid : Imannya seseorang yang tidak punya dalil. (ikut-ikutan)
2. Iman Ilmul Yaqin : Imannya seseorang dibarengi dengan ilmu dan dalilnya.
3. Iman Ainul Yaqin : Imannya seseorang dibarengi dengan ma'rifat (mengenal Alloh) dan tasdik (mengakui dan menerima)
4. Iman Haqul Yaqin : Imannya seseorang yang buta terhadap Alloh (selalu memikirkan Alloh)
5. Iman Haqiqat/ma'rifat : Imannya seseorang yang hatinya tidak ingat lagi terhadap selain Alloh (Alloh terus Alloh lagi)
6. Iman Haqiqatul Haqiqat : Imannya para Rasul.

Wallahu a'lam.
Indahnya hidup dengan berbagi^^

Tauhid

*ILMU->MABADI (Persiapan)

1. Ta'rif (Definisi) = Apa definisi ilmu tauhid?
2. Maudlu (Sasaran) = Apa sasarannya?
3. Tsamroh (Hasil) = Bagaimana hasil dari mempelajari ilmu tauhid?
4. Fadlu (Keutamaan) = Apa keutamaan mempelajari ilmu tauhid?
5. Nisbat (Hubungan) = Apa hubungan ilmu tersebut dengan ilmu yang lain?
6. Wadi (Gagasan) = Siapa yang menggagaskan ilmu tauhid?
7. Ismu (Nama lain) = Apa nama lain dari ilmu tauhid?
8. Istimdad (Sumber hukum) = Dari mana sumber hukum ilmu tauhid?
9. Hukum = Apa hukum mempelajari ilmu tauhid?
10. Masa'il (Masalah) = Apa saja masalah-masalah yang ada di ilmu tauhid?

Jawaban:
1. Mengetahui segala sesuatu itu satu disebut ilmu tauhid.
2. Allah, Rasul, Aqidah.
3. Bahagia dunia akhirat, iman.
4. Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia.
5. Pokok/dasar dari segala ilmu.
6. Imam Al-As'ary dan Imam At-Maturidy.
7. Ilmu kalam, usuludin, aqidah, ma'rifat, uluhiyah.
8. Dalil aqli dan dalil naqli (Qur'an dan Hadits)
9. Fardu 'ain (kewajiban individu semuanya)
10. Wajib, jaiz, mustahil.

Wallahu a'lam.

Dia

             Angin malam yang berembus lembut, basahnya genting yang kuinjak, langit malam yang menawan mata dengan titik-titiknya yang bercahaya, membuatku semakin nyaman dengan suasana malam ini. Inilah kebiasaan yang sering kulakukan, untuk menghilangkan beban yang membuat pikiran dan hatiku tak keruan. Aku pergi keluar kamar lalu bergegas menuju lantai atas. Aku duduk di atas genting sambil menikmati malam yang begitu tenang. Tak peduli sedingin apapun malam ini, asalkan langit penuh dengan cahaya bintang. Angin malam pun serasa menjadi hangat bagiku. Mengenang seseorang yang telah pergi. Seseorang yang sangat berarti untukku, dan membuatku lemah akan cinta.
***
Malam ini adalah malam yang agung bagi seluruh umat islam. Pergantian tahun hijriyah telah tiba, dan semua umat muslim merayakannya dengan kesederhanaan. ‘Pawai obor’. Ya, perayaan itulah yang sering dilakukan di daerahku, untuk memperingatinya. Aku dan Agus tak ingin melewatkan perayaan ini. Aku berangkat pukul 5 sore bersama Agus. Kami pergi menggunakan sepeda motor agar lebih cepat menuju masjid tujuan kami.
“Bisa sambil ngeceng nih, Mad,” canda Agus sesampainya di masjid yang mulai dipadati oleh santri-santri pesantren lain.
“Hahaha.. dasar kamu, Gus, paling sigap kalau masalah perempuan,“ ucapku.
“Hehe..kan menyelam sambil minum air, Mad,” katanya lagi.
“Iya iya, Gus, terserah kamu saja.”
Aku hanya menanggapinya dengan wajar, karena sebagai lelaki normal, pasti akan ada niat seperti itu. Kami pun berjalan menuju masjid sambil memperhatikan orang-orang di sekeliling kami. Kami pun sampai di depan pintu masjid.
“Mad! Perempuan itu, Mad! Cantiknya…” Agus menepuk pundakku dan menunjuk seorang wanita yang berada tak jauh dari kami.
“Mana, Gus, yang mana?” tanyaku yang kebingungan dengan sikap Agus.
“Itu yang memakai kerudung ungu, pakaiannya juga berwarna ungu. Cantik, kan, Mad?”
“Hmm.. biasa aja ah, Gus, haha...” kataku setengah meledek.
“Ah, Ahmad Ahmad.. dari dulu kau itu tak pandai kalau masalah perempuan,” Agus hanya menggelengkan kepalanya.
“Memang tidak. Kalau aku pandainya tentang pelajaran, Gus,” godaku. “Udah ah, Gus. Yuk masuk, acaranya udah dimulai,” ajakku pada Agus.
Di dalam masjid, ternyata sudah banyak masyarakat yang begitu antusias dalam acara pawai obor ini. Kami mulai mencari tempat duduk yang tampaknya sudah penuh oleh yang lain. Beberapa lama kemudian, akhirnya ada panitia yang membantu mencarikan tempat duduk untuk kami berdua. Tempat duduk yang sudah diatur, terpisah antara laki-laki dan perempuan, menandakan acara ini bukan acara yang biasa.
Setelah menemukan tempat duduk, kami mulai menyimak acara yang sebentar lagi akan dimulai. Acaranya terdiri dari pembukaan, sambutan, tausiyah, sesi tanya jawab berhadiah, do’a akhir tahun dan acara puncak, yaitu pawai obor. Saat aku memperhatikan tausiyah, tak sengaja aku melihat seorang wanita. Sepertinya ia wanita muslimah. Ia berpenampilan serba biru. Kulihat sebuah kamera terkalung di lehernya, tak lupa nametag yang juga ia kenakan. Pasti ia panitia di sini, dan mungkin ia yang mendokumentasikan acara ini, pikirku. Tapi, entah mengapa ia begitu memikatku, yang biasanya sulit tertarik dengan wanita manapun.
“Gus, kau lihat tidak perempuan yang pakaiannya serba biru itu?” tanyaku kepada Agus.
“Perempuan yang mana, Mad?” tanya Agus sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
“Eehh.. itu tuh yang di depan, yang membawa kamera,” tunjukku mengalihkan pandangan Agus pada wanita tersebut.
“Oh, iya, emang kenapa, Mad? Kamu suka, ya?” goda Agus sambil tersenyum simpul.
“Hmm, gak apa-apa, aku cuma bertanya saja,” jawabku malas.
“Ah, cie Ahmad, kasmaran, haha…” ia terkekeh melihatku.
“Hahaha, iya terus kenapa, Gus? Gak boleh, ya,”
“Haha ya boleh, malah bagus. Biar kamu gak murung terus gara-gara masa lalu kamu itu, Mad,” kata Agus dengan mimik muka serius.
“Hmmm… kamu, masa lalu dibicarakan lagi. Udah ah, fokus lagi sama acaranya,” Agus hanya mengangguk dan tersenyum kecil.
Aku berusaha untuk fokus, tapi sebenarnya pikiranku sudah kacau akibat dari memikirkan wanita serba biru tadi. Parasnya yang anggun, senyum tipis yang manis, matanya yang sipit semakin membuatku tak ingin berhenti memandanginya. Andai saja aku bisa berkenalan dengannya, bertanya siapa namanya, dan bisa lebih dekat dengannya. Walau kini dia sudah tak berada di hadapanku, tapi pikiran dan hatiku seperti sudah terkunci untuk membayangkan perempuan itu. Tak terasa, waktu pun berlalu. Kami akan menutup tausiyah ini dengan berdoa di akhir tahun. Aku harus fokus! bisikku dalam hati. Setelah itu, kami bersiap-siap untuk shalat maghrib berjamaah.
“Hey, Mad, jangan banyak dilamunin tapi action, dong! Deketin dia, ajak ngobrol, tanyain namanya, kalau bisa minta saja nomornya, hehe..” tiba-tiba Agus membuyarkan lamunanku yang baru selesai berwudhu. Ya karena wanita serba biru itu, dalam sekejap telah membuatku terus memikirkannya.
“Apa sih, Gus, kayak yang tidak tahu aku saja. Mengajaknya berbicara? Mendekati perempuan saja, aku gemetaran, apalagi mengajaknya berbicara, bisa-bisa pingsan aku, Gus. Memangnya kamu mau, menggendongku kalau aku pingsan?” candaku pada Agus.
“Ya.. gak maulah.. tapi sampe segitunya sih, Mad, kamu sama perempuan yang kamu suka! Parah nih si Ahmad,” Agus mendecak kesal.
“Hahaha.. iyaa itulah aku gus.. lagi pula belum tentu kan, aku suka sama perempuan itu. Sudah, aku mau shalat dulu,” kataku sambil berlalu darinya menuju masjid.
Seusai sholat, semua rombongan yang mengikuti pawai obor, dipersilakan untuk segera menuju halaman masjid. Pembagian obor pun dilakukan dan kami diberi pengarahan oleh salah seorang panitia. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang sedang membagikan obor, ada yang sibuk memberi pengarahan, dan ada juga yang sibuk mendokumentasi. Dokumentasi? Aku teringat pada wanita yang mengalungkan kameranya itu. Kupicingkan mataku, lalu kubiarkan pandanganku berkeliling mencari seseorang yang sedang mengisi pikiranku saat ini. Ya perempuan itu!
“Ehem! Pasti lagi nyari perempuan yang bawa kamera itu ya, Mad. Hahaha… Ahmad jatuh cinta di malam tahun baru,” lontar Agus tiba-tiba.
“Apaan sih, Gus. Nggak ko, cuman lagi nyari toilet,” kataku yang membohongi Agus.
“Alaahh, kau jago sekali kalau soal ngeles, Mad, jujurlah! Aku kenal kamu bukan 1 atau 2 hari, aku kan teman SMP dan SMA mu, sudah hampir 6 tahun kita bersama. Aku tahu sifat dan sikap kamu seperti apa, termasuk saat kamu berbohong. Kamu suka, kan, pada perempuan yang berkerudung biru itu?” tanya Agus yang masih penasaran. Aku menghela napas panjang.
“Hmm.. iya, Gus,” akhirnya aku mengakui perasaanku.
“Naahh gitu, dong. Lagi pula aku setuju kok. Kalau kamu mau berusaha, pasti kamu bisa,” ucap Agus yang menyemangatiku.
“Tapi, Gus, apa aku bisa? Kamu tahu kan, bagaimana aku jika menyangkut masalah perempuan,”
“Aduh, Ahmad..Ahmad, menyerah sebelum berperang. Kau sendiri yang bilang padaku waktu itu. Cinta itu adalah salah satu sumber kekuatan, yang membuat manusia bisa melakukan apa yang sebelumnya tidak dapat dilakukan. Ayolah, Mad, buktikan kata-kata teguhmu itu. Jangan jadi kata-kata yang terbuang sia-sia,” tegas Agus. Ya aku ingat, aku pernah berkata itu pada agus.
“Alaahh.. ya sudah jangan terlalu dipikirkan, nanti kamu pingsan, terus bisa-bisa aku yang repot,” canda Agus padaku yang terus membisu. Aku pun langsung tertawa bersamanya.
Selang beberapa lama, semua rombongan telah mendapatkan obor bambunya, lalu panitia membantu menyalakan obor, satu persatu. Setelah semua menyala, kami dan rombongan yang lainnya mulai berjalan, dipimpin panitia yang berada di depan.
Malam yang indah membuat kami semakin bersemangat, seperti obor yang kami pegang, berapi-api. Kami berjalan dengan diiringi sholawat dan puji-pujian, yang kami tujukan pada Allah dan Rasulullah, membuat kami tak memikirkan rasa lelah yang kian mendera. Ketika aku ikut bersholawat, wanita yang memikatku tadi datang dengan kameranya, dan kini ia berada di depanku. Dia sedang sibuk mendokumentasikan, tapi tak mengarahkan kameranya kepadaku. Ketika ia sedang memotret, aku bertingkah so’ akrab padanya.
“Hey foto di sininya juga, dong!!” teriakku kepada perempuan serba biru itu.
Dia mengalihkan pandangannya ke arahku, lalu ia tersenyum. Ia langsung mengarahkan kameranya,  menandakan ia akan memotretku. Aku bingung harus bergaya seperti apa, kuajaklah Agus agar aku bisa lebih percaya diri. Blitz kamera berkali-kali menyala, membuatku tahu jika ia memotretku beberapa kali. Merasa cukup, ia melihat ke arahku. Ia pun tersenyum kembali, lalu sibuk memotret yang lain. Aku sangat bersyukur, malam yang agung ini aku dipertemukan dengan seorang kaum hawa, yang sekejap mengalihkan pikiranku.
“Cie disenyumin..” Agus menggodaku.
“Iya, Gus, kelepek-kelepek aku, Gus,” aku pun tertawa.
“Bisa lebay juga kamu, Mad, haha”
Tak terasa kami sudah berkeliling jauh dan kami sudah sampai di tempat semula, masjid. Obor-obor kami pun dipadamkan, dibantu juga oleh para panitia. Semua rombongan tampak lelah. Panitia mulai membagikan konsumsi. Aku dan Agus duduk di halaman dekat masjid. Saat kami sedang menyantap konsumsi, seseorang memanggilku.
“Kang Ahmad!” Aku langsung mencari seseorang yang memanggilku. Ternyata dia Azis, adik kelas di sekolahku.
“Hei, Zis.. kamu ikut pawai obor juga?” tanyaku karena tak melihatnya saat pawai berlangsung.
“Tidak, Kang. Saya sebagai panitia, saya ditugaskan untuk mengatur rombongan di depan,” jelasnya.
“Oh, pantesan, tadi gak keliatan,” kataku. Tak sengaja, aku melihat wanita serba biru itu lagi, aku langsung bertanya pada Azis.
“Hmm.. Zis, akang mau nanya, kamu kenal perempuan yang pake kerudung biru itu?” tunjukku pada wanita itu.
“Oh, kenal dong, Kang. Namanya Mia, seksi dokumentasi di acara ini. Dia juga temen sekelas saya, Kang. Memang kenapa, Kang?” ia balik bertanya.
“Oh, Mia. Hehe tidak, Zis. Cuma nanya aja, makasih, ya,” aku pun tersenyum. Azis pun pamit untuk meninggalkan kami karena ia akan bertugas kembali.
Aahh ya Tuhan ternyata namanya Mia, dan dia satu sekolah denganku, dia juga adik kelasku! Bahagianya aku bisa mengetahui namanya, walau tak bertanya langsung padanya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Selesai beristirahat, sampailah di acara penutupan. Agus pamit untuk pulang lebih dulu, karena mendapat tugas dari ibunya. Saat aku siap-siap untuk pulang, aku berpapasan dengan wanita serba biru itu.
“Kang, nanti fotonya saya tandain, ya, di facebook,” katanya sambil tersenyum padaku.
Aku salah tingkah. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan mengangguk setuju. Lalu ia pun pergi dengan senyuman manis di bibirnya. Bahagianya aku malam ini, ternyata ia mengenalku. Aku tak mengerti bagaimana dia bisa mengenalku sedangkan aku sendiri baru melihatnya sekarang? Perasaan bahagia, bingung dan tak mengerti pun bersatu. Bayangan wanita itu terus memenuhi pikiranku saat aku di perjalanan untuk pulang. Semoga aku bisa bertemu dengannya nanti. Ya, bertemu dengannya, yang akan menambah keindahan hidupku ini. Wanita bernama Mia. Ya, Mia.


Untuknya
Cinta itu membahagiakan
Tergantung cara kita memunculkanya
Perasaan tidak akan membohongi hati
Dan tak bisa ku pungkiri bahwa hatiku ini telah terjatuh
Sesosok bidadari biru yang langsung menggodaku
Merubah hidup ku yang keluh dengan masa lalu
Berubah sekejap menjadi sebuah anugerah yang indah untuk ku
Memutarbalikan semua kenangan buruk tentang rasa dan hati
Menghilangkan lamunan ku tentang masa lalu yang gelap menjadi masa depan yang terang
Kau muncul dengan kesederhanaanmu yang indah
Bayangan mu yang terus berputar
Membuat ukiran yang perlahan muncul di hati dan pikiranku
Walau ku tahu ku tak akan bisa memilikimu
Tapi aku manusia…
Manusia yang berhak berharap dengan harapan yang tak pasti
Karena aku tahu Tuhanlah yang maha tahu
Dan Dia lah yang paling tahu apa yang terbaik untuk hambanya
Termasuk aku…

By: M Sirod M

Jumat, 07 Maret 2014

Jejak Kenangan


Sumber cahaya terbesar mulai menampakkan sinarnya. Rerumputan dipenuhi dengan embun yang memantulkan sinar mentari, membuat kilaunya terlihat indah. Pagi yang cerah menyambut hari istimewaku. Hari ini merupakan hari ulang tahunku yang ke-17. Orang-orang biasa menyebutnya dengan ‘Sweet Seventeen’. Aku berharap, ada seseorang yang bisa membuat hari ini begitu istimewa. Mungkinkah dia tahu hari ini? tanyaku pada diri sendiri.
            Kutunggu dengan debar yang tak biasa. Sesekali kupandangi ponsel yang kusimpan di atas meja belajar. Berharap ‘dia’ menjadi orang pertama yang mengucapkannya. Namun harapan hanya tinggal harapan, kutunggu dari pukul dua belas malam hingga pukul enam pagi, tapi ia tak mengucapkannya sama sekali.  Aku tersenyum kecut. Ya sudahlah, dia kan bukan siapa-siapaku. Aku langsung bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Ayah dan ibuku memberi ucapan selamat. Setidaknya, mereka masih ingat dengan hari ini, meskipun tidak akan ada perayaan mewah seperti teman-teman pada umumnya.
***
“Hai, Mia! Selamat ulang tahun, ya!” tiba-tiba Via ---sahabatku--- mencubit dan menampar pipiku di depan pintu kelas. Ternyata, dia sudah menungguku dari tadi. Aku langsung memeluknya, dan berterima kasih padanya karena ia telah ingat dengan hari jadiku. Teman-teman yang mendengar langsung menoleh pada kami, lalu mereka pun bergantian mengucapkan ‘Selamat Ulang Tahun’ padaku. Tapi, tidak dengan lelaki yang sedang duduk di bangku itu. Ia terkesan tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
“Ri, kamu gak akan ngucapin tuh ke Mia? Lihat deh, dari tadi dia melihat ke arahmu terus!” tanya Via yang suaranya terdengar sampai ke telingaku.
“Ah, nanti saja. Hmmm, dia kan punya mata. Ya biarkan saja dia melihat kemanapun yang ia suka,” jawab Fahri ketus. Aku sungguh kecewa dengan jawabannya. Tapi, untuk apa aku marah? Aku kan bukan siapa-siapanya, aku hanya pengagum rahasia yang belum bisa berkata jujur padanya. Biarkan sajalah, yang penting, hari ini harus menjadi hari yang paling menyenangkan! Aku kembali tersenyum.
Via datang menghampiriku. Ketika ia akan berbicara, aku langsung membuka mulut, “Sudahlah, aku sudah tahu apa yang akan kamu bicarakan,” kataku seraya mengembangkan senyum termanisku. Via tak menjawab apapun, yang ia lakukan hanyalah mengusap punggungku. “Aku tidak apa-apa, Vi. Serius deh,” nadaku meyakinkan. Via mengangguk dan tak membahasnya lagi.
***
Malam telah tiba, dan Fahri masih membungkam mulutnya. Ah, lebih baik aku tidur saja, ucapku dalam hati. Aku langsung menutup badanku dengan selimut. Satu jam kemudian, ponselku bergetar, dan akupun terbangun. Ternyata ada satu pesan dari Fahri. Ia sengaja memilih menjadi orang yang terakhir untuk mengucapkan selamat padaku. Aku hanya tersenyum membaca pesannya, lalu kembali memejamkan mata tanpa membalasnya. Tiba-tiba ponselku bergetar cukup lama. Setelah kulihat, ternyata Fahri meneleponku. Ketika kuangkat, ia mematikan secara sepihak. Kenapa dia ini? Lalu ada lagi yang meneleponku, hanya saja, yang ini disembunyikan nomornya.
“Mi, pesanku sampai?” suaranya terdengar khas di telingaku. “Aku minta maaf, ya, baru mengucapkannya sekarang,” lanjutnya
“Fahri, ya? Tidak apa-apa, kok. Terima kasih, ya. Maaf, ini sudah malam, tadi aku sudah tidur, jadi pesanmu tidak sempat kubalas,” kataku panjang lebar.
“Eh, iya, harusnya aku yang meminta maaf. Aku telah mengganggu waktu istirahatmu. Ya sudah, sampai jumpa besok di sekolah, ya. Maaf aku tidak bisa memberikan apa-apa padamu, assalamu’alaikum,” aku hanya menjawab salamnya saja, karena takut ayah dan ibuku terbangun mendengar percakapanku dengan Fahri.
            Keesokan harinya, aku belajar dengan giat, karena hari Senin adalah hari pertamaku melaksanakan ujian kenaikan kelas.
            Hari pertama ujian, aku bisa mengerjakannya dengan baik. Meskipun aku sendiri tidak tahu, jawabanku benar atau tidak. Tiba-tiba saja, sikap Fahri padaku menjadi berbeda. Setiap ia melihatku, senyum simpul selalu merekah di bibirnya. Ah, jangan geer maksimal, Mi! Dalam perjalanan pulang, ponselku mati karena habis baterai, padahal sebelumnya kulihat ada satu pesan dari Fahri. Aku berjalan tergesa-gesa menuju rumah. Penasaran dengan isi pesan yang dikirim Fahri lima belas menit yang lalu.
“Mi, aku memang bukan seseorang yang pandai merangkai kata sepertimu. Namun, ternyata perasaan ini semakin mendesakku, agar segera berbicara padamu. Aku menyukaimu. Entah sejak kapan, entah apa penyebabnya, yang jelas aku menyukaimu, Mi. Aku siap dengan jawaban apapun. Yang terpenting, aku sudah memberanikan diri untuk mengungkapkan semua ini.”
            Aku terkejut dengan isi pesan tersebut. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku belum siap untuk menjalin kasih lagi. Akhirnya kuputuskan untuk menjadi sahabat spesial saja. Mungkin ini aneh, karena aku juga menyukai Fahri. Tapi, separuh hatiku masih tertinggal di kekasih lamaku. Fahri harus berjuang keras untuk merebutnya.
***
            Semenjak terkirimnya pesan itu, aku dan Fahri lebih dekat dari sebelumnya. Meskipun kami tidak berpacaran. Kami sering bertukar cerita dan berbagi ilmu. Itulah yang kusuka dari Fahri. Ilmu yang ia punya begitu luas, dan membuatku terkagum-kagum. Apalagi dengan ilmu agamanya. Selain menjadi seorang siswa di sekolah, ia juga seorang santri di pesantren dekat sekolahku. Karena itulah, aku tidak mengiyakan, ketika diajak berpacaran.
            Dua minggu kemudian, aku berencana untuk pergi ke bioskop dengan Fahri. Namun gagal, karena tak ada satupun film yang membuatku tertarik. Akhirnya, kami pergi ke toko buku. Setelah sampai di sana, kamipun membaca buku yang kami inginkan.
“Mi, ini ceritanya bagus, tentang seorang ibu dan anaknya,” ucap Fahri sambil menyodorkan sebuah buku.
“Emang kamu ngerti, buku yang bagus itu yang kayak gimana?” jawabku setengah meledek. Fahri menatapku sinis. Aku terkekeh melihatnya, ia pun ikut tersenyum. Beberapa jam kemudian, cacing di perutku mulai berteriak, “Lapaaar….” Aku langsung mengajak Fahri untuk mencari makan.
“Kamu lapar? Mmm, aku tahu tempat makanan yang enak, tapi murah! Ayo, naik ke motor!” ajaknya.
***
            Kami langsung makan dengan lahap. Saat aku sedang makan, ada sekumpulan lelaki yang melihatku. Aku risih dan langsung berkata pada Fahri. Fahri menatap balik ke arah mereka, dan akhirnya mereka pun pergi. Setelah selesai, kami pergi ke masjid untuk beribadah. Kemudian, kami bergegas untuk pulang ke rumah.
“Kamu sih enak, uangnya habis tapi jelas barangnya. Membeli buku, dan kerupuk untuk kakakmu. Lah aku? Habis hanya untuk membayar parkir,” kata Fahri di perjalanan pulang.
“Aduh, maaf, ya. Aku ganti uangmu, berapa semuanya?” kataku sambil merogoh saku jaketku.
“Hahaha….aku hanya becanda, Mi, tenang saja. Tidak apa-apa ko, lagian kan tidak seberapa. Aku minta maaf, ya? Aku tidak bisa membelikanmu apa-apa. Bahkan, makan saja, kita harus bayar masing-masing. Harusnya aku yang bayar semuanya, termasuk makanan kamu,” ujarnya dengan nada pelan di akhir kalimat. Aku hanya tersenyum saja tanpa menjawab kata-katanya.
            Setengah jam kemudian, kami sampai ke depan rumahku. Kakakku sedang berdiri tepat di halaman rumah yang cukup luas. Aku dan Fahri segera turun dari motor. Lalu Fahri mencium tangan kakakku. Ah, ia sopan sekali! gumamku dalam hati.
“Fahri, ya? Mia sering bercerita pada kakak tentangmu,” ucap kakak sambil mendelik ke arahku. Aku memukul bahunya. Fahri menggaruk kepala yang tak gatal. “Sini masuk dulu, Fahri. Tidak usah malu-malu padaku,” lanjutnya.
            Kakak perempuanku yang hanya satu-satunya ini memang sangat cerewet. Banyak hal yang ia perbincangkan dengan Fahri. Kakak membuat aku malu saja! Setelah satu jam, Fahri berpamitan pulang. Aku mengantarnya sampai ke depan rumah, dan melambaikan tangan padanya.
“Cieee, manis juga tuh, Mi,” goda kakakku.
“Apaan sih, Kak?” wajahku seketika memerah. Akupun tersenyum.
***
            Dua bulan berlalu. Ada yang berbeda dengan Fahri. Akhir-akhir ini, ia lebih banyak menghindar. Ada apa, ya? tanyaku pada diri sendiri.
“Vi, kata kamu, ada yang berubah gak dari Fahri?” tanyaku pada Via yang baru muncul di balik pintu kelas.
“Ada! Jadi sering bareng kamu, kan?” jawabnya setengah tersenyum.
“Ih, bukan itu! Kerasa gak sih, kalau dia akhir-akhir ini kayak yang menjauh dari aku,” Via hanya menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tak merasakan perubahan apapun dari Fahri. Aku pun berhenti memikirkannya, karena kupikir itu tak ada gunanya.
            Bel pulang berbunyi. Semua siswa begitu gembira ketika mendengarnya. Aku dan yang lain cepat-cepat pulang, untuk mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh guru kimia.
***
            Malam pun tiba. Ketika aku sedang berkonsentrasi mengerjakan soal, ponselku bergetar. Ternyata ada pesan masuk dari Fahri. Setelah kubaca pesannya, tak terasa cairan bening dari mataku meleleh dan membasahi boneka beruangku.
Maaf aku tidak bisa bersamamu lagi, Mi. Aku takut menyakitimu lebih banyak. Aku kasihan dengan orang-orang yang dekat denganku, khususnya kamu. Pasti aku sering menjadi penyebabmu sakit hati. Intinya aku minta maaf, jika aku sering menyakitimu, juga perasaanmu. Mungkin, dan semoga saja ini yang terakhir kalinya aku menyakitimu.
            Aku cepat-cepat menghapus air mataku dan membalas pesan Fahri. Dia hanya berargumen, “Aku tak ingin menyakitimu, Mi.” Aku semakin bingung. Yang kulakukan hanyalah menangis. Saat akan kutelepon, ponselnya sudah tak aktif. Tangisku malah semakin menjadi. Aku menyumpal mulutku dengan selimut, agar suara tangisku tak terdengar sampai keluar kamar.
            Keesokan harinya, mataku sembab dan sedikit membengkak. Mungkin karena menangis semalaman. Di kelas, aku tak berani berbicara sepatah katapun.
“Mi, are you okay?” tanya Via padaku. Aku tak menjawab apa-apa. “Mi, kenapa? Ada masalah? Cerita, dong, Mi!” Via mengulang pertanyaannya dengan nada meninggi.
“Aku baik-baik saja, Vi. Biasa aja kali nanyanya, gak usah sewot gitu,” jawabku setengah tertawa.
“Kamu gak akan bisa bohong sama aku, Mi. Kamu ada masalah apa? Mungkin aku bisa bantu,” ucapnya dengan nada direndahkan. Akhirnya, aku bercerita pada Via. Tentang Fahri, tentang tadi malam, dan tentang pesan-pesan yang ia kirimkan padaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Via langsung memelukku dengan erat. Pelukan sahabat memang obat yang paling tepat bagiku saat ini.
“Mi, kamu sudah bertanya langsung pada Fahri?” tanya Via. Aku mengangguk pelan. Dengan cepat, aku menghapus air mata yang membanjiri kedua pipiku. “Sudah, jangan menangis lagi. Ada Fahri, tuh. Sabar, ya, Mi. I know that feel,” sambung Via.
            Semenjak itu, aku menjadi pemurung. Berbeda dengan yang kemarin-kemarin. Setelah pulang sekolah, aku langsung berlari ke kamar. Mengunci pintu dan menyumpal mulutku lagi dengan selimut. Dan untuk yang kesekian kalinya, aku menangis. Tak peduli dimana dan kapan, aku selalu menangis jika mengingat pesan yang dikirim Fahri. Dua hari penuh, air mataku selalu terjatuh. Mataku semakin sayu.
            Kupikir-pikir lagi, rasanya ini berlebihan. Aku mencoba menata hatiku yang berantakan. Memulai hari yang baru, meskipun hubunganku dengan Fahri tidak senyaman dulu lagi. Memang sejak itu, kami tidak pernah bertegur sapa. Kami seperti orang yang belum pernah bertemu. Tapi, aku selalu berusaha agar hubungan kami bisa seperti dulu lagi.
***
            Tiga bulan berlalu. Aku mulai terbiasa dengan keadaan ini. Sesekali, aku menjenguk akun jejaring sosialnya. Sekadar mencari tahu, dengan siapakah ia sekarang. Sampai suatu hari, kulihat percakapannya dengan seorang wanita yang tak kukenal. Aku langsung membaca percakapan mereka di timeline milik Fahri. Dan ternyata, wanita itu adalah kakak kelas Fahri ketika di SMP, dan mereka membicarakan mantan kekasih Fahri.
            Semakin jauh kubaca, kutemukan kebenaran di sana. Ternyata cinta lama Fahri bersemi kembali. Wajahku terasa panas. Aku berusaha untuk menahan kecemburuanku. Namun, aku gagal. Dadaku semakin sesak dibuatnya. Tenggorokanku semakin sakit akibat menahan tangis. Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Fahri melalui pesan singkat. Namun, tak ada balasan. Keesokan harinya, Fahri memanggilku dan menjawab pertanyaanku yang tadi malam. Ternyata benar, dia memang kembali pada masa lalunya. Dia mengakui hal yang tak pernah kuduga, dia menyayangiku , tapi ia juga masih menyayanginya. Seketika tubuh ini terasa ringan. Aku hampir terjatuh mendengarnya.
            Butiran kristal bening itu kembali meleleh. Aku langsung berlari menuju toilet. Mencuci muka agar mataku tidak terlihat merah. Setelah mampu menenangkan diri, aku kembali ke kelas dengan membubuhkan sedikit senyuman di bibirku. Via langsung mendekatiku. Entah mengapa, ia selalu tahu dengan apa yang kurasakan, meskipun aku belum menceritakannya.
***
            Aku pulang ke rumah dengan keadaan sendu. Ternyata dia penyebabnya, penyebab Fahri meninggalkanku. Kubuka laptopku dan membuka jejak kenangan masa lalu, yang pernah kulukiskan bersama Fahri, ditemani dengan lagu kenangan kami berdua. Kutengok lagi foto-foto yang merekam kebersamaan kami, membuatku harus menitikkan air mata, entah untuk yang kesekian kalinya.
            Rasanya ini lebih sakit daripada masa laluku. Ketika aku sudah berhasil menyayanginya, ia malah pergi meninggalkanku. Menyisakan sejuta kenangan indah yang telah dilalui bersama. Aku benci diriku sendiri! Aku sulit menetralkan perasaanku pada Fahri. Kepada siapa seharusnya aku akan melabuhkan hatiku?
Fahri…kuharap engkaulah pelabuhan cinta terakhirku… bisikku lirih.

Rabu, 05 Maret 2014

Haruskah Kami Hancur

      Pertengkaran ini terasa sudah tak asing lagi. Bukan satu atau dua gelas yang terbang tak tentu arah. Terkadang harus ada si kecil nan tajam yang membuahkan cairan berwarna merah kental. Adikku memeluk erat tubuhku. Bibirnya bergetar hebat. Ia menahan tangis, tatkala pertengkaran itu sampai ke puncaknya. Ayah dan ibu memutuskan untuk berpisah. Mungkin benang merah harus putus di tengah jalan. Tetesan air mengetuk pintu sudut kelopak mataku. Aku tak mengerti mengapa harus seperti ini akhirnya. Masa depan kami dipertanyakan. Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Kami korban perceraian diambang kehancuran. Tak tahu harus pulang pada siapa.