Hari ini adalah hari ibu. Setiap
orang merayakan hari ibu dengan cara yang berbeda-beda, seperti; memberi kado
untuk ibunya, membereskan pekerjaan rumah, dan masih banyak lagi. Berbeda
denganku, malah aku yang menyusahkan ibu. Boro-boro
memberi hadiah, untuk membantu sedikit pekerjaan ibu saja, aku tak bisa. Aku
terbaring lemas di tempat tidurku, karena sakit yang menderaku. Sakit yang
kuderita sudah berlangsung selama dua minggu. Aku, ayah dan ibu, sudah berusaha
mencari obat untuk menyembuhkan penyakitku. Namun, malang yang diraih,
penyakitku saja tak diketahui namanya, bagaimana bisa mencari obat tanpa tahu
apa yang diderita?
Sendi-sendiku terasa sakit jika
digerakkan, kepalaku pun terasa sakit, suhu badanku selalu melebihi batas
normal. Jika aku berjalan, pandanganku gelap, kabur, semua tampak berputar-putar.
Dan jika keesokan harinya sakit itu hilang, dua hari kemudian sakit itu datang kembali.
Haahh, entah apa yang terjadi padaku. Aku hanya bisa berusaha, berdoa dan
bertawakal pada yang telah memberi rasa sakitku ini.
“Muth,
itu buburnya dimakan dulu. Sudah ibu sediakan di atas meja, sudah dengan teh
manisnya, Sayang,” teriak ibu dari dapur.
“Iya,
Bu. Nanti Muthma makan buburnya,” jawabku. Setelah lima menit kemudian, Ibu
menghampiriku. Entah mengapa, beliau langsung memelukku, erat sekali. Tiba-tiba
beliau menangis dan berkata, “Muthma sayang, maafkan Ibu, Nak. Ibu dan Ayah
belum bisa mendeteksi penyakitmu, belum bisa menyembuhkan Muthma. Maafkan kami,
Muth,” ibu tersedu-sedu.
“Ibu,
yang ada juga Muthma yang minta maaf. Karena selalu menyusahkan ibu. Selamat
hari Ibu, ya. Maafkan Muthma yang tidak bisa membantu ibu disaat ibu sibuk,
Muthma selalu merepotkan ibu. Terlebih lagi, akhir-akhir ini kondisi Muthma
yang tidak memungkinkan untuk beraktifitas seperti biasa.” Balasku dengan
senyuman. Ibu memelukku lagi.
Ibu menyuapiku semangkuk bubur. Aku
tahu, sebenarnya ia sedang menangis dalam hatinya. Inilah hebatnya ibuku,
tegar, dan jarang sekali menumpahkan air matanya di depanku ataupun ayah. Ya Allah, maafkan Muthma, maafkan Ibu
Muthma, lindungi Ibu dan Ayah Muthma, batinku.
***
Harusnya hari ini aku datang ke
sekolah untuk mengambil rapotku. Namun karena kondisiku tidak memungkinkan
untuk datang, maka aku hanya bisa berdiam diri di atas pembaringan yang kini
menjadi hantu bagiku. Aku bosan, jenuh, ingin pergi keluar rumah, bermain
bersama teman-temanku. Ah, tidak mungkin.
“Muthma,
ada Bu Siti ke sini. Bareng sama teman-temanmu juga,” ucap ibu dibalik pintu
kamarku. Aku terperanjat. “Hah? Aw…” Sendi-sendiku terasa sakit lagi. Aku
langsung mengenakan hijabku. Ibu mengetuk pintu kamar, lalu kupersilakan masuk.
“Assalamu’alaikum,
Muthma,” terdengar suara Bu Siti yang masuk ke kamarku.
“Wa’alaikumussalam,
Bu. Aaaa… Muthma kangen Ibu dan teman-teman,” tak sadar, bulir air mataku
menetes.
“Muthmaaaaaa….Isti
rindu Muthmaaaa,” terobos Isti dari luar kamar. Isti merupakan sahabat karibku.
Teman terbaik untuk menyimpan cerita dan rahasia-rahasiaku. Ia langsung
memelukku dengan erat. Aku pun membalas pelukannya, berusaha menyembunyikan air
mata di balik pundaknya.
Ibu dan Bu Siti terlihat
berbincang-bincang di ruang tamu, sedangkan aku, melepas rindu dengan sahabat-sahabat
yang ku cintai dan mencintaiku.
“Bu,
Muthmainnah ini adalah anak yang cerdas, kebanggaan saya dan teman-temannya. Ia
berhasil mencapai nilai tertinggi di sekolah.” Bu Siti mengelus-elus kepalaku
seraya tersenyum.
“Beneran,
Bu? Alhamdulillah,” tangisku meledak. Ibu langsung menghampiriku dan mencium
keningku, tak lupa memberi selamat padaku. Ah,
bahagianya, terima kasih Yaa Allah.
***
Setelah beberapa jam kemudian, mereka
berpamitan pulang. Rasanya berat sekali melepas mereka. Isti menyemangatiku
agar cepat sembuh, yang lainnya pun demikian. Aku tak bisa mengantar mereka sampai
depan rumah. Hmmm.
Tiba-tiba saja, sakit kepalaku
mencapai puncaknya. Aku berteriak memanggil ibu. Dengan sigap, ibu berlari ke
arah kamarku dan mencari apa yang telah membuatku begini.
“Bu,
kepala Muthma, Bu! Sakiiiiitttt…..” teriakku tak kuasa menahan kesakitan. Ibu
terlihat panik. Beliau langsung menelepon rumah sakit untuk mengirim ambulan ke
rumahku. Tak lama kemudian, sampailah mobil yang menyeramkan itu, tepat di
halaman depan rumahku.
Aku masih merintih, masih kesakitan.
Rasanya kepalaku ingin meledak, dan akan memuntahkan penyakit-penyakit yang absurd itu. Sesampainya di sana, aku
langsung dilarikan ke Unit Gawat Darurat (UGD). Terdengar suara ibu
memanggil-manggil namaku sambil merogoh sakunya untuk mengambil ponsel miliknya.
Ibu segera menelepon ayah. Setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi,
karena di sini, mulai….gelap.
***
“Muthmaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa, anakku
sayang, cantik, sholehah, kenapa pergi mendahului Ibu, Nak?” Ibu Muthma
menangis sejadi-jadinya. Ayah Muthma tepat di sampingnya hanya bisa
menepuk-nepuk pundaknya dan memeluknya. Betapa tidak? Ibu Muthma kehilangan
anak yang begitu dicintainya. Sebelum mengembuskan nafas terakhirnya, Muthma
sempat berbisik pada sang Ibu, “Bu, selamat hari Mamah, ya. Muthma sayang Ibu.
Ibu sayang Muthma, kan? Maafkan semua kesalahan Muthma. Muthma telah berdosa
karena menyusahkan Ibu dan Ayah. Astagfirullahal’adzim,”
Muthma anak sholehah ini, berhasil
mengucapkan kalimat syahadat di akhir hidupnya, dituntun oleh orang terkasih,
yakni ayahnya. Begitu banyak teman, sanak saudara, kerabat, bahkan orang yang
hanya kenal selewat pun datang untuk mengantarkan Muthma ke tempat
peristirahatan terakhirnya. Semua orang kehilangan Muthma, namun, inilah yang
terbaik untuk Muthma.
-Sekian- :)