Minggu, 09 Maret 2014

Dia

             Angin malam yang berembus lembut, basahnya genting yang kuinjak, langit malam yang menawan mata dengan titik-titiknya yang bercahaya, membuatku semakin nyaman dengan suasana malam ini. Inilah kebiasaan yang sering kulakukan, untuk menghilangkan beban yang membuat pikiran dan hatiku tak keruan. Aku pergi keluar kamar lalu bergegas menuju lantai atas. Aku duduk di atas genting sambil menikmati malam yang begitu tenang. Tak peduli sedingin apapun malam ini, asalkan langit penuh dengan cahaya bintang. Angin malam pun serasa menjadi hangat bagiku. Mengenang seseorang yang telah pergi. Seseorang yang sangat berarti untukku, dan membuatku lemah akan cinta.
***
Malam ini adalah malam yang agung bagi seluruh umat islam. Pergantian tahun hijriyah telah tiba, dan semua umat muslim merayakannya dengan kesederhanaan. ‘Pawai obor’. Ya, perayaan itulah yang sering dilakukan di daerahku, untuk memperingatinya. Aku dan Agus tak ingin melewatkan perayaan ini. Aku berangkat pukul 5 sore bersama Agus. Kami pergi menggunakan sepeda motor agar lebih cepat menuju masjid tujuan kami.
“Bisa sambil ngeceng nih, Mad,” canda Agus sesampainya di masjid yang mulai dipadati oleh santri-santri pesantren lain.
“Hahaha.. dasar kamu, Gus, paling sigap kalau masalah perempuan,“ ucapku.
“Hehe..kan menyelam sambil minum air, Mad,” katanya lagi.
“Iya iya, Gus, terserah kamu saja.”
Aku hanya menanggapinya dengan wajar, karena sebagai lelaki normal, pasti akan ada niat seperti itu. Kami pun berjalan menuju masjid sambil memperhatikan orang-orang di sekeliling kami. Kami pun sampai di depan pintu masjid.
“Mad! Perempuan itu, Mad! Cantiknya…” Agus menepuk pundakku dan menunjuk seorang wanita yang berada tak jauh dari kami.
“Mana, Gus, yang mana?” tanyaku yang kebingungan dengan sikap Agus.
“Itu yang memakai kerudung ungu, pakaiannya juga berwarna ungu. Cantik, kan, Mad?”
“Hmm.. biasa aja ah, Gus, haha...” kataku setengah meledek.
“Ah, Ahmad Ahmad.. dari dulu kau itu tak pandai kalau masalah perempuan,” Agus hanya menggelengkan kepalanya.
“Memang tidak. Kalau aku pandainya tentang pelajaran, Gus,” godaku. “Udah ah, Gus. Yuk masuk, acaranya udah dimulai,” ajakku pada Agus.
Di dalam masjid, ternyata sudah banyak masyarakat yang begitu antusias dalam acara pawai obor ini. Kami mulai mencari tempat duduk yang tampaknya sudah penuh oleh yang lain. Beberapa lama kemudian, akhirnya ada panitia yang membantu mencarikan tempat duduk untuk kami berdua. Tempat duduk yang sudah diatur, terpisah antara laki-laki dan perempuan, menandakan acara ini bukan acara yang biasa.
Setelah menemukan tempat duduk, kami mulai menyimak acara yang sebentar lagi akan dimulai. Acaranya terdiri dari pembukaan, sambutan, tausiyah, sesi tanya jawab berhadiah, do’a akhir tahun dan acara puncak, yaitu pawai obor. Saat aku memperhatikan tausiyah, tak sengaja aku melihat seorang wanita. Sepertinya ia wanita muslimah. Ia berpenampilan serba biru. Kulihat sebuah kamera terkalung di lehernya, tak lupa nametag yang juga ia kenakan. Pasti ia panitia di sini, dan mungkin ia yang mendokumentasikan acara ini, pikirku. Tapi, entah mengapa ia begitu memikatku, yang biasanya sulit tertarik dengan wanita manapun.
“Gus, kau lihat tidak perempuan yang pakaiannya serba biru itu?” tanyaku kepada Agus.
“Perempuan yang mana, Mad?” tanya Agus sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
“Eehh.. itu tuh yang di depan, yang membawa kamera,” tunjukku mengalihkan pandangan Agus pada wanita tersebut.
“Oh, iya, emang kenapa, Mad? Kamu suka, ya?” goda Agus sambil tersenyum simpul.
“Hmm, gak apa-apa, aku cuma bertanya saja,” jawabku malas.
“Ah, cie Ahmad, kasmaran, haha…” ia terkekeh melihatku.
“Hahaha, iya terus kenapa, Gus? Gak boleh, ya,”
“Haha ya boleh, malah bagus. Biar kamu gak murung terus gara-gara masa lalu kamu itu, Mad,” kata Agus dengan mimik muka serius.
“Hmmm… kamu, masa lalu dibicarakan lagi. Udah ah, fokus lagi sama acaranya,” Agus hanya mengangguk dan tersenyum kecil.
Aku berusaha untuk fokus, tapi sebenarnya pikiranku sudah kacau akibat dari memikirkan wanita serba biru tadi. Parasnya yang anggun, senyum tipis yang manis, matanya yang sipit semakin membuatku tak ingin berhenti memandanginya. Andai saja aku bisa berkenalan dengannya, bertanya siapa namanya, dan bisa lebih dekat dengannya. Walau kini dia sudah tak berada di hadapanku, tapi pikiran dan hatiku seperti sudah terkunci untuk membayangkan perempuan itu. Tak terasa, waktu pun berlalu. Kami akan menutup tausiyah ini dengan berdoa di akhir tahun. Aku harus fokus! bisikku dalam hati. Setelah itu, kami bersiap-siap untuk shalat maghrib berjamaah.
“Hey, Mad, jangan banyak dilamunin tapi action, dong! Deketin dia, ajak ngobrol, tanyain namanya, kalau bisa minta saja nomornya, hehe..” tiba-tiba Agus membuyarkan lamunanku yang baru selesai berwudhu. Ya karena wanita serba biru itu, dalam sekejap telah membuatku terus memikirkannya.
“Apa sih, Gus, kayak yang tidak tahu aku saja. Mengajaknya berbicara? Mendekati perempuan saja, aku gemetaran, apalagi mengajaknya berbicara, bisa-bisa pingsan aku, Gus. Memangnya kamu mau, menggendongku kalau aku pingsan?” candaku pada Agus.
“Ya.. gak maulah.. tapi sampe segitunya sih, Mad, kamu sama perempuan yang kamu suka! Parah nih si Ahmad,” Agus mendecak kesal.
“Hahaha.. iyaa itulah aku gus.. lagi pula belum tentu kan, aku suka sama perempuan itu. Sudah, aku mau shalat dulu,” kataku sambil berlalu darinya menuju masjid.
Seusai sholat, semua rombongan yang mengikuti pawai obor, dipersilakan untuk segera menuju halaman masjid. Pembagian obor pun dilakukan dan kami diberi pengarahan oleh salah seorang panitia. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang sedang membagikan obor, ada yang sibuk memberi pengarahan, dan ada juga yang sibuk mendokumentasi. Dokumentasi? Aku teringat pada wanita yang mengalungkan kameranya itu. Kupicingkan mataku, lalu kubiarkan pandanganku berkeliling mencari seseorang yang sedang mengisi pikiranku saat ini. Ya perempuan itu!
“Ehem! Pasti lagi nyari perempuan yang bawa kamera itu ya, Mad. Hahaha… Ahmad jatuh cinta di malam tahun baru,” lontar Agus tiba-tiba.
“Apaan sih, Gus. Nggak ko, cuman lagi nyari toilet,” kataku yang membohongi Agus.
“Alaahh, kau jago sekali kalau soal ngeles, Mad, jujurlah! Aku kenal kamu bukan 1 atau 2 hari, aku kan teman SMP dan SMA mu, sudah hampir 6 tahun kita bersama. Aku tahu sifat dan sikap kamu seperti apa, termasuk saat kamu berbohong. Kamu suka, kan, pada perempuan yang berkerudung biru itu?” tanya Agus yang masih penasaran. Aku menghela napas panjang.
“Hmm.. iya, Gus,” akhirnya aku mengakui perasaanku.
“Naahh gitu, dong. Lagi pula aku setuju kok. Kalau kamu mau berusaha, pasti kamu bisa,” ucap Agus yang menyemangatiku.
“Tapi, Gus, apa aku bisa? Kamu tahu kan, bagaimana aku jika menyangkut masalah perempuan,”
“Aduh, Ahmad..Ahmad, menyerah sebelum berperang. Kau sendiri yang bilang padaku waktu itu. Cinta itu adalah salah satu sumber kekuatan, yang membuat manusia bisa melakukan apa yang sebelumnya tidak dapat dilakukan. Ayolah, Mad, buktikan kata-kata teguhmu itu. Jangan jadi kata-kata yang terbuang sia-sia,” tegas Agus. Ya aku ingat, aku pernah berkata itu pada agus.
“Alaahh.. ya sudah jangan terlalu dipikirkan, nanti kamu pingsan, terus bisa-bisa aku yang repot,” canda Agus padaku yang terus membisu. Aku pun langsung tertawa bersamanya.
Selang beberapa lama, semua rombongan telah mendapatkan obor bambunya, lalu panitia membantu menyalakan obor, satu persatu. Setelah semua menyala, kami dan rombongan yang lainnya mulai berjalan, dipimpin panitia yang berada di depan.
Malam yang indah membuat kami semakin bersemangat, seperti obor yang kami pegang, berapi-api. Kami berjalan dengan diiringi sholawat dan puji-pujian, yang kami tujukan pada Allah dan Rasulullah, membuat kami tak memikirkan rasa lelah yang kian mendera. Ketika aku ikut bersholawat, wanita yang memikatku tadi datang dengan kameranya, dan kini ia berada di depanku. Dia sedang sibuk mendokumentasikan, tapi tak mengarahkan kameranya kepadaku. Ketika ia sedang memotret, aku bertingkah so’ akrab padanya.
“Hey foto di sininya juga, dong!!” teriakku kepada perempuan serba biru itu.
Dia mengalihkan pandangannya ke arahku, lalu ia tersenyum. Ia langsung mengarahkan kameranya,  menandakan ia akan memotretku. Aku bingung harus bergaya seperti apa, kuajaklah Agus agar aku bisa lebih percaya diri. Blitz kamera berkali-kali menyala, membuatku tahu jika ia memotretku beberapa kali. Merasa cukup, ia melihat ke arahku. Ia pun tersenyum kembali, lalu sibuk memotret yang lain. Aku sangat bersyukur, malam yang agung ini aku dipertemukan dengan seorang kaum hawa, yang sekejap mengalihkan pikiranku.
“Cie disenyumin..” Agus menggodaku.
“Iya, Gus, kelepek-kelepek aku, Gus,” aku pun tertawa.
“Bisa lebay juga kamu, Mad, haha”
Tak terasa kami sudah berkeliling jauh dan kami sudah sampai di tempat semula, masjid. Obor-obor kami pun dipadamkan, dibantu juga oleh para panitia. Semua rombongan tampak lelah. Panitia mulai membagikan konsumsi. Aku dan Agus duduk di halaman dekat masjid. Saat kami sedang menyantap konsumsi, seseorang memanggilku.
“Kang Ahmad!” Aku langsung mencari seseorang yang memanggilku. Ternyata dia Azis, adik kelas di sekolahku.
“Hei, Zis.. kamu ikut pawai obor juga?” tanyaku karena tak melihatnya saat pawai berlangsung.
“Tidak, Kang. Saya sebagai panitia, saya ditugaskan untuk mengatur rombongan di depan,” jelasnya.
“Oh, pantesan, tadi gak keliatan,” kataku. Tak sengaja, aku melihat wanita serba biru itu lagi, aku langsung bertanya pada Azis.
“Hmm.. Zis, akang mau nanya, kamu kenal perempuan yang pake kerudung biru itu?” tunjukku pada wanita itu.
“Oh, kenal dong, Kang. Namanya Mia, seksi dokumentasi di acara ini. Dia juga temen sekelas saya, Kang. Memang kenapa, Kang?” ia balik bertanya.
“Oh, Mia. Hehe tidak, Zis. Cuma nanya aja, makasih, ya,” aku pun tersenyum. Azis pun pamit untuk meninggalkan kami karena ia akan bertugas kembali.
Aahh ya Tuhan ternyata namanya Mia, dan dia satu sekolah denganku, dia juga adik kelasku! Bahagianya aku bisa mengetahui namanya, walau tak bertanya langsung padanya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Selesai beristirahat, sampailah di acara penutupan. Agus pamit untuk pulang lebih dulu, karena mendapat tugas dari ibunya. Saat aku siap-siap untuk pulang, aku berpapasan dengan wanita serba biru itu.
“Kang, nanti fotonya saya tandain, ya, di facebook,” katanya sambil tersenyum padaku.
Aku salah tingkah. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan mengangguk setuju. Lalu ia pun pergi dengan senyuman manis di bibirnya. Bahagianya aku malam ini, ternyata ia mengenalku. Aku tak mengerti bagaimana dia bisa mengenalku sedangkan aku sendiri baru melihatnya sekarang? Perasaan bahagia, bingung dan tak mengerti pun bersatu. Bayangan wanita itu terus memenuhi pikiranku saat aku di perjalanan untuk pulang. Semoga aku bisa bertemu dengannya nanti. Ya, bertemu dengannya, yang akan menambah keindahan hidupku ini. Wanita bernama Mia. Ya, Mia.


Untuknya
Cinta itu membahagiakan
Tergantung cara kita memunculkanya
Perasaan tidak akan membohongi hati
Dan tak bisa ku pungkiri bahwa hatiku ini telah terjatuh
Sesosok bidadari biru yang langsung menggodaku
Merubah hidup ku yang keluh dengan masa lalu
Berubah sekejap menjadi sebuah anugerah yang indah untuk ku
Memutarbalikan semua kenangan buruk tentang rasa dan hati
Menghilangkan lamunan ku tentang masa lalu yang gelap menjadi masa depan yang terang
Kau muncul dengan kesederhanaanmu yang indah
Bayangan mu yang terus berputar
Membuat ukiran yang perlahan muncul di hati dan pikiranku
Walau ku tahu ku tak akan bisa memilikimu
Tapi aku manusia…
Manusia yang berhak berharap dengan harapan yang tak pasti
Karena aku tahu Tuhanlah yang maha tahu
Dan Dia lah yang paling tahu apa yang terbaik untuk hambanya
Termasuk aku…

By: M Sirod M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar