***
Malam ini adalah
malam yang agung bagi seluruh umat islam. Pergantian tahun hijriyah telah tiba,
dan semua umat muslim merayakannya dengan kesederhanaan. ‘Pawai obor’. Ya,
perayaan itulah yang sering dilakukan di daerahku, untuk memperingatinya. Aku
dan Agus tak ingin melewatkan perayaan ini. Aku berangkat pukul 5 sore bersama
Agus. Kami pergi menggunakan sepeda motor agar lebih cepat menuju masjid tujuan
kami.
“Bisa sambil ngeceng
nih, Mad,” canda Agus sesampainya di masjid yang mulai dipadati oleh
santri-santri pesantren lain.
“Hahaha.. dasar kamu,
Gus, paling sigap kalau masalah perempuan,“ ucapku.
“Hehe..kan menyelam
sambil minum air, Mad,” katanya lagi.
“Iya iya, Gus,
terserah kamu saja.”
Aku hanya menanggapinya
dengan wajar, karena sebagai lelaki normal, pasti akan ada niat seperti itu.
Kami pun berjalan menuju masjid sambil memperhatikan orang-orang di sekeliling
kami. Kami pun sampai di depan pintu masjid.
“Mad! Perempuan itu,
Mad! Cantiknya…” Agus menepuk pundakku dan menunjuk seorang wanita yang berada
tak jauh dari kami.
“Mana, Gus, yang
mana?” tanyaku yang kebingungan dengan sikap Agus.
“Itu yang memakai
kerudung ungu, pakaiannya juga berwarna ungu. Cantik, kan, Mad?”
“Hmm.. biasa aja ah,
Gus, haha...” kataku setengah meledek.
“Ah, Ahmad Ahmad..
dari dulu kau itu tak pandai kalau masalah perempuan,” Agus hanya menggelengkan
kepalanya.
“Memang tidak. Kalau
aku pandainya tentang pelajaran, Gus,” godaku. “Udah ah, Gus. Yuk masuk, acaranya
udah dimulai,” ajakku pada Agus.
Di dalam masjid, ternyata
sudah banyak masyarakat yang begitu antusias dalam acara pawai obor ini. Kami
mulai mencari tempat duduk yang tampaknya sudah penuh oleh yang lain. Beberapa
lama kemudian, akhirnya ada panitia yang membantu mencarikan tempat duduk untuk
kami berdua. Tempat duduk yang sudah diatur, terpisah antara laki-laki dan
perempuan, menandakan acara ini bukan acara yang biasa.
Setelah menemukan
tempat duduk, kami mulai menyimak acara yang sebentar lagi akan dimulai.
Acaranya terdiri dari pembukaan, sambutan, tausiyah, sesi tanya jawab
berhadiah, do’a akhir tahun dan acara puncak, yaitu pawai obor. Saat aku
memperhatikan tausiyah, tak sengaja aku melihat seorang wanita. Sepertinya ia wanita muslimah. Ia
berpenampilan serba biru. Kulihat sebuah kamera terkalung di lehernya, tak lupa
nametag yang juga ia kenakan. Pasti ia panitia di sini, dan mungkin ia
yang mendokumentasikan acara ini, pikirku. Tapi, entah mengapa ia begitu
memikatku, yang biasanya sulit tertarik dengan wanita manapun.
“Gus, kau lihat tidak
perempuan yang pakaiannya serba biru itu?” tanyaku kepada Agus.
“Perempuan yang mana,
Mad?” tanya Agus sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
“Eehh.. itu tuh yang
di depan, yang membawa kamera,” tunjukku mengalihkan pandangan Agus pada wanita
tersebut.
“Oh, iya, emang
kenapa, Mad? Kamu suka, ya?” goda Agus sambil tersenyum simpul.
“Hmm, gak apa-apa, aku
cuma bertanya saja,” jawabku malas.
“Ah, cie Ahmad,
kasmaran, haha…” ia terkekeh melihatku.
“Hahaha, iya terus
kenapa, Gus? Gak boleh, ya,”
“Haha ya boleh, malah
bagus. Biar kamu gak murung terus gara-gara masa lalu kamu itu, Mad,” kata Agus
dengan mimik muka serius.
“Hmmm… kamu, masa
lalu dibicarakan lagi. Udah ah, fokus lagi sama acaranya,” Agus hanya
mengangguk dan tersenyum kecil.
Aku berusaha untuk fokus,
tapi sebenarnya pikiranku sudah kacau akibat dari memikirkan wanita serba biru
tadi. Parasnya yang anggun, senyum tipis yang manis, matanya yang sipit semakin
membuatku tak ingin berhenti memandanginya. Andai
saja aku bisa berkenalan dengannya, bertanya siapa namanya, dan bisa lebih
dekat dengannya. Walau kini dia sudah tak berada di hadapanku, tapi pikiran
dan hatiku seperti sudah terkunci untuk membayangkan perempuan itu. Tak terasa,
waktu pun berlalu. Kami akan menutup tausiyah ini dengan berdoa di akhir tahun.
Aku harus fokus! bisikku dalam hati.
Setelah itu, kami bersiap-siap untuk shalat maghrib berjamaah.
“Hey, Mad, jangan
banyak dilamunin tapi action, dong!
Deketin dia, ajak ngobrol, tanyain namanya, kalau bisa minta saja nomornya,
hehe..” tiba-tiba Agus membuyarkan lamunanku yang baru selesai berwudhu. Ya karena
wanita serba biru itu, dalam sekejap telah membuatku terus memikirkannya.
“Apa sih, Gus, kayak
yang tidak tahu aku saja. Mengajaknya berbicara? Mendekati perempuan saja, aku gemetaran,
apalagi mengajaknya berbicara, bisa-bisa pingsan aku, Gus. Memangnya kamu mau, menggendongku
kalau aku pingsan?” candaku pada Agus.
“Ya.. gak maulah..
tapi sampe segitunya sih, Mad, kamu sama perempuan yang kamu suka! Parah nih si
Ahmad,” Agus mendecak kesal.
“Hahaha.. iyaa itulah
aku gus.. lagi pula belum tentu kan, aku suka sama perempuan itu. Sudah, aku
mau shalat dulu,” kataku sambil berlalu darinya menuju masjid.
Seusai sholat, semua
rombongan yang mengikuti pawai obor, dipersilakan untuk segera menuju halaman
masjid. Pembagian obor pun dilakukan dan kami diberi pengarahan oleh salah
seorang panitia. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang
sedang membagikan obor, ada yang sibuk memberi pengarahan, dan ada juga yang
sibuk mendokumentasi. Dokumentasi? Aku
teringat pada wanita yang mengalungkan kameranya itu. Kupicingkan mataku, lalu
kubiarkan pandanganku berkeliling mencari seseorang yang sedang mengisi pikiranku
saat ini. Ya perempuan itu!
“Ehem! Pasti lagi
nyari perempuan yang bawa kamera itu ya, Mad. Hahaha… Ahmad jatuh cinta di malam
tahun baru,” lontar Agus tiba-tiba.
“Apaan sih, Gus.
Nggak ko, cuman lagi nyari toilet,” kataku yang membohongi Agus.
“Alaahh, kau jago
sekali kalau soal ngeles, Mad,
jujurlah! Aku kenal kamu bukan 1 atau 2 hari, aku kan teman SMP dan SMA mu, sudah
hampir 6 tahun kita bersama. Aku tahu sifat dan sikap kamu seperti apa,
termasuk saat kamu berbohong. Kamu suka, kan, pada perempuan yang berkerudung
biru itu?” tanya Agus yang masih penasaran. Aku menghela napas panjang.
“Hmm.. iya, Gus,” akhirnya
aku mengakui perasaanku.
“Naahh gitu, dong. Lagi
pula aku setuju kok. Kalau kamu mau berusaha, pasti kamu bisa,” ucap Agus yang
menyemangatiku.
“Tapi, Gus, apa aku
bisa? Kamu tahu kan, bagaimana aku jika menyangkut masalah perempuan,”
“Aduh, Ahmad..Ahmad,
menyerah sebelum berperang. Kau sendiri yang bilang padaku waktu itu. Cinta itu adalah salah satu sumber kekuatan,
yang membuat manusia bisa melakukan apa yang sebelumnya tidak dapat dilakukan.
Ayolah, Mad, buktikan kata-kata teguhmu itu. Jangan jadi kata-kata yang terbuang
sia-sia,” tegas Agus. Ya aku ingat, aku
pernah berkata itu pada agus.
“Alaahh.. ya sudah
jangan terlalu dipikirkan, nanti kamu pingsan, terus bisa-bisa aku yang repot,”
canda Agus padaku yang terus membisu. Aku pun langsung tertawa bersamanya.
Selang beberapa lama,
semua rombongan telah mendapatkan obor bambunya, lalu panitia membantu
menyalakan obor, satu persatu. Setelah semua menyala, kami dan rombongan yang
lainnya mulai berjalan, dipimpin panitia yang berada di depan.
Malam yang indah
membuat kami semakin bersemangat, seperti obor yang kami pegang, berapi-api. Kami
berjalan dengan diiringi sholawat dan puji-pujian, yang kami tujukan pada Allah
dan Rasulullah, membuat kami tak memikirkan rasa lelah yang kian mendera. Ketika
aku ikut bersholawat, wanita yang memikatku tadi datang dengan kameranya, dan
kini ia berada di depanku. Dia sedang sibuk mendokumentasikan, tapi tak
mengarahkan kameranya kepadaku. Ketika ia sedang memotret, aku bertingkah so’
akrab padanya.
“Hey foto di sininya
juga, dong!!” teriakku kepada perempuan serba biru itu.
Dia mengalihkan
pandangannya ke arahku, lalu ia tersenyum. Ia langsung mengarahkan kameranya, menandakan ia akan memotretku. Aku bingung
harus bergaya seperti apa, kuajaklah Agus agar aku bisa lebih percaya diri. Blitz kamera berkali-kali menyala, membuatku
tahu jika ia memotretku beberapa kali. Merasa cukup, ia melihat ke arahku. Ia pun
tersenyum kembali, lalu sibuk memotret yang lain. Aku sangat bersyukur, malam
yang agung ini aku dipertemukan dengan seorang kaum hawa, yang sekejap
mengalihkan pikiranku.
“Cie disenyumin..” Agus
menggodaku.
“Iya, Gus,
kelepek-kelepek aku, Gus,” aku pun tertawa.
“Bisa lebay juga kamu,
Mad, haha”
Tak terasa kami sudah
berkeliling jauh dan kami sudah sampai di tempat semula, masjid. Obor-obor kami
pun dipadamkan, dibantu juga oleh para panitia. Semua rombongan tampak lelah. Panitia
mulai membagikan konsumsi. Aku dan Agus duduk di halaman dekat masjid. Saat
kami sedang menyantap konsumsi, seseorang memanggilku.
“Kang Ahmad!” Aku langsung
mencari seseorang yang memanggilku. Ternyata dia Azis, adik kelas di sekolahku.
“Hei, Zis.. kamu ikut
pawai obor juga?” tanyaku karena tak melihatnya saat pawai berlangsung.
“Tidak, Kang. Saya
sebagai panitia, saya ditugaskan untuk mengatur rombongan di depan,” jelasnya.
“Oh, pantesan, tadi
gak keliatan,” kataku. Tak sengaja, aku melihat wanita serba biru itu lagi, aku
langsung bertanya pada Azis.
“Hmm.. Zis, akang mau
nanya, kamu kenal perempuan yang pake kerudung biru itu?” tunjukku pada wanita
itu.
“Oh, kenal dong, Kang.
Namanya Mia, seksi dokumentasi di acara ini. Dia juga temen sekelas saya, Kang.
Memang kenapa, Kang?” ia balik bertanya.
“Oh, Mia. Hehe tidak,
Zis. Cuma nanya aja, makasih, ya,” aku pun tersenyum. Azis pun pamit untuk
meninggalkan kami karena ia akan bertugas kembali.
Aahh
ya Tuhan ternyata namanya Mia, dan dia satu sekolah denganku, dia juga adik
kelasku!
Bahagianya aku bisa mengetahui namanya, walau tak bertanya langsung padanya. Waktu
sudah menunjukkan pukul 10 malam. Selesai beristirahat, sampailah di acara penutupan.
Agus pamit untuk pulang lebih dulu, karena mendapat tugas dari ibunya. Saat aku
siap-siap untuk pulang, aku berpapasan dengan wanita serba biru itu.
“Kang, nanti fotonya
saya tandain, ya, di facebook,”
katanya sambil tersenyum padaku.
Aku salah tingkah. Aku
hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan mengangguk setuju. Lalu ia pun pergi
dengan senyuman manis di bibirnya. Bahagianya aku malam ini, ternyata ia mengenalku.
Aku tak mengerti bagaimana dia bisa mengenalku sedangkan aku sendiri baru melihatnya
sekarang? Perasaan bahagia, bingung dan tak mengerti pun bersatu. Bayangan wanita
itu terus memenuhi pikiranku saat aku di perjalanan untuk pulang. Semoga aku bisa
bertemu dengannya nanti. Ya, bertemu dengannya, yang akan menambah keindahan
hidupku ini. Wanita bernama Mia. Ya, Mia.
Untuknya
Cinta
itu membahagiakan
Tergantung
cara kita memunculkanya
Perasaan
tidak akan membohongi hati
Dan
tak bisa ku pungkiri bahwa hatiku ini telah terjatuh
Sesosok
bidadari biru yang langsung menggodaku
Merubah
hidup ku yang keluh dengan masa lalu
Berubah
sekejap menjadi sebuah anugerah yang indah untuk ku
Memutarbalikan
semua kenangan buruk tentang rasa dan hati
Menghilangkan
lamunan ku tentang masa lalu yang gelap menjadi masa depan yang terang
Kau
muncul dengan kesederhanaanmu yang indah
Bayangan
mu yang terus berputar
Membuat
ukiran yang perlahan muncul di hati dan pikiranku
Walau
ku tahu ku tak akan bisa memilikimu
Tapi
aku manusia…
Manusia
yang berhak berharap dengan harapan yang tak pasti
Karena
aku tahu Tuhanlah yang maha tahu
Dan
Dia lah yang paling tahu apa yang terbaik untuk hambanya
Termasuk
aku…
By: M Sirod M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar