Senin, 23 Desember 2013

Tak Sama Denganku


            Hari ini adalah hari ibu. Setiap orang merayakan hari ibu dengan cara yang berbeda-beda, seperti; memberi kado untuk ibunya, membereskan pekerjaan rumah, dan masih banyak lagi. Berbeda denganku, malah aku yang menyusahkan ibu. Boro-boro memberi hadiah, untuk membantu sedikit pekerjaan ibu saja, aku tak bisa. Aku terbaring lemas di tempat tidurku, karena sakit yang menderaku. Sakit yang kuderita sudah berlangsung selama dua minggu. Aku, ayah dan ibu, sudah berusaha mencari obat untuk menyembuhkan penyakitku. Namun, malang yang diraih, penyakitku saja tak diketahui namanya, bagaimana bisa mencari obat tanpa tahu apa yang diderita?
            Sendi-sendiku terasa sakit jika digerakkan, kepalaku pun terasa sakit, suhu badanku selalu melebihi batas normal. Jika aku berjalan, pandanganku gelap, kabur, semua tampak berputar-putar. Dan jika keesokan harinya sakit itu hilang, dua hari kemudian sakit itu datang kembali. Haahh, entah apa yang terjadi padaku. Aku hanya bisa berusaha, berdoa dan bertawakal pada yang telah memberi rasa sakitku ini.
     “Muth, itu buburnya dimakan dulu. Sudah ibu sediakan di atas meja, sudah dengan teh manisnya, Sayang,” teriak ibu dari dapur.
   “Iya, Bu. Nanti Muthma makan buburnya,” jawabku. Setelah lima menit kemudian, Ibu menghampiriku. Entah mengapa, beliau langsung memelukku, erat sekali. Tiba-tiba beliau menangis dan berkata, “Muthma sayang, maafkan Ibu, Nak. Ibu dan Ayah belum bisa mendeteksi penyakitmu, belum bisa menyembuhkan Muthma. Maafkan kami, Muth,” ibu tersedu-sedu.
     “Ibu, yang ada juga Muthma yang minta maaf. Karena selalu menyusahkan ibu. Selamat hari Ibu, ya. Maafkan Muthma yang tidak bisa membantu ibu disaat ibu sibuk, Muthma selalu merepotkan ibu. Terlebih lagi, akhir-akhir ini kondisi Muthma yang tidak memungkinkan untuk beraktifitas seperti biasa.” Balasku dengan senyuman. Ibu memelukku lagi.
            Ibu menyuapiku semangkuk bubur. Aku tahu, sebenarnya ia sedang menangis dalam hatinya. Inilah hebatnya ibuku, tegar, dan jarang sekali menumpahkan air matanya di depanku ataupun ayah. Ya Allah, maafkan Muthma, maafkan Ibu Muthma, lindungi Ibu dan Ayah Muthma, batinku.
***
            Harusnya hari ini aku datang ke sekolah untuk mengambil rapotku. Namun karena kondisiku tidak memungkinkan untuk datang, maka aku hanya bisa berdiam diri di atas pembaringan yang kini menjadi hantu bagiku. Aku bosan, jenuh, ingin pergi keluar rumah, bermain bersama teman-temanku. Ah, tidak mungkin.
     “Muthma, ada Bu Siti ke sini. Bareng sama teman-temanmu juga,” ucap ibu dibalik pintu kamarku. Aku terperanjat. “Hah? Aw…” Sendi-sendiku terasa sakit lagi. Aku langsung mengenakan hijabku. Ibu mengetuk pintu kamar, lalu kupersilakan masuk.
        “Assalamu’alaikum, Muthma,” terdengar suara Bu Siti yang masuk ke kamarku.
     “Wa’alaikumussalam, Bu. Aaaa… Muthma kangen Ibu dan teman-teman,” tak sadar, bulir air mataku menetes.
     “Muthmaaaaaa….Isti rindu Muthmaaaa,” terobos Isti dari luar kamar. Isti merupakan sahabat karibku. Teman terbaik untuk menyimpan cerita dan rahasia-rahasiaku. Ia langsung memelukku dengan erat. Aku pun membalas pelukannya, berusaha menyembunyikan air mata di balik pundaknya.
            Ibu dan Bu Siti terlihat berbincang-bincang di ruang tamu, sedangkan aku, melepas rindu dengan sahabat-sahabat yang ku cintai dan mencintaiku.
      “Bu, Muthmainnah ini adalah anak yang cerdas, kebanggaan saya dan teman-temannya. Ia berhasil mencapai nilai tertinggi di sekolah.” Bu Siti mengelus-elus kepalaku seraya tersenyum.
        “Beneran, Bu? Alhamdulillah,” tangisku meledak. Ibu langsung menghampiriku dan mencium keningku, tak lupa memberi selamat padaku. Ah, bahagianya, terima kasih Yaa Allah.
***
             Setelah beberapa jam kemudian, mereka berpamitan pulang. Rasanya berat sekali melepas mereka. Isti menyemangatiku agar cepat sembuh, yang lainnya pun demikian. Aku tak bisa mengantar mereka sampai depan rumah. Hmmm.
            Tiba-tiba saja, sakit kepalaku mencapai puncaknya. Aku berteriak memanggil ibu. Dengan sigap, ibu berlari ke arah kamarku dan mencari apa yang telah membuatku begini.
     “Bu, kepala Muthma, Bu! Sakiiiiitttt…..” teriakku tak kuasa menahan kesakitan. Ibu terlihat panik. Beliau langsung menelepon rumah sakit untuk mengirim ambulan ke rumahku. Tak lama kemudian, sampailah mobil yang menyeramkan itu, tepat di halaman depan rumahku.
            Aku masih merintih, masih kesakitan. Rasanya kepalaku ingin meledak, dan akan memuntahkan penyakit-penyakit yang absurd itu. Sesampainya di sana, aku langsung dilarikan ke Unit Gawat Darurat (UGD). Terdengar suara ibu memanggil-manggil namaku sambil merogoh sakunya untuk mengambil ponsel miliknya. Ibu segera menelepon ayah. Setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi, karena di sini, mulai….gelap.
***
            “Muthmaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa, anakku sayang, cantik, sholehah, kenapa pergi mendahului Ibu, Nak?” Ibu Muthma menangis sejadi-jadinya. Ayah Muthma tepat di sampingnya hanya bisa menepuk-nepuk pundaknya dan memeluknya. Betapa tidak? Ibu Muthma kehilangan anak yang begitu dicintainya. Sebelum mengembuskan nafas terakhirnya, Muthma sempat berbisik pada sang Ibu, “Bu, selamat hari Mamah, ya. Muthma sayang Ibu. Ibu sayang Muthma, kan? Maafkan semua kesalahan Muthma. Muthma telah berdosa karena menyusahkan Ibu dan Ayah. Astagfirullahal’adzim,”
            Muthma anak sholehah ini, berhasil mengucapkan kalimat syahadat di akhir hidupnya, dituntun oleh orang terkasih, yakni ayahnya. Begitu banyak teman, sanak saudara, kerabat, bahkan orang yang hanya kenal selewat pun datang untuk mengantarkan Muthma ke tempat peristirahatan terakhirnya. Semua orang kehilangan Muthma, namun, inilah yang terbaik untuk Muthma.
-Sekian- :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar