Jumat, 06 Desember 2013

Satu Hari Bersama Ayah

            Pandanganku mulai kabur. Semua tampak gelap. Aku tak mampu lagi menahan beban di pundakku. Dan akhirnya tubuh ini pun lemas, rapuh, kemudian...terjatuh.

***
            Aku terbangun dari tidur panjangku. Rasanya kenyang sekali aku tidur, gumamku. Aku pun beranjak dari tempat tidur yang biasanya membuatku jengkel dengan suara berisiknya. Terasa sedikit janggal di pagi ini. Ah, apa peduliku?

“Yah, pintu kamar sudah dibenarkan? Ini dicat ulang, ya?” teriakku seraya memegang daun pintu kamarku. Ayah pun menghampiriku.

“Sudah, peri cantikku,” senyum Ayah mengembang, membuat pandanganku tak ingin lepas dari wajahnya.
“Terima kasih, Yah,” pelukku hangat. “Ibu sudah bangun, Yah?” tanyaku sambil berjalan menuju meja makan.

“Sudah. Ibumu sedang menyiapkan air minum di dapur.” Ayah berjalan menuju pintu dapur. Kulihat bayangan Ayah yang sedang mengusap kepala Ibu. Ayah dan Ibu saling menyayangi. Aku tersenyum kecil, melihat fenomena yang sudah sering terjadi di rumah ini. Dari dapur, Ibu berjalan membawa air teh manis hangat. Ah, kesukaanku. Menu hari ini adalah tahu dan tempe goreng, ditambah sambel kecap buatan ibu. Kami bertiga makan dengan lahapnya.

            Aku adalah anak semata wayang. Terkadang aku merasa kesepian. Tak ada teman yang bisa kuajak bermain, karena di sini, mayoritas adalah mahasiswa.

“Yah, nanti siang kita jalan-jalan, yuk?” ajakku pada Ayah.

“Ke mana, Cantik?” tanya Ayah.

“Ke taman saja, Yah,” jawabku. Ayah mengangguk, sepertinya ia setuju dengan ajakanku. Tidak biasanya ia langsung setuju, karena Ayah orang yang tidak terlalu suka dengan jalan-jalan. Jika aku bosan di rumah, ia hanya membuat permainan baru. Tapi, tak apalah. Mungkin untuk kali ini, ia ingin membahagiakanku, pikirku.

            Selesai makan, ibu membereskan sisa makanan yang ada di atas meja. Aku berlari ke kamar dengan senangnya. Menari di atas kasur, karena Ayah menyetujui rencanaku. Aku pun cepat-cepat mandi, lalu siap-siap untuk pergi ke taman, bersama ayah dan ibu.

***

            Sesampainya di taman, Ibu duduk di bangku kayu berwarna putih, menikmati indahnya bunga-bunga cantik yang menyegarkan mata. Sedangkan aku dan ayah, berlari ke sana ke mari. Ayah mengejarku. Meskipun larinya kencang, namun aku tahu, ayah selalu mengalah untukku. Aku berhenti ketika nafas ayah mulai tak beratur.
“Ah, payah nih,” ucapku sambil menjulurkan lidahku. Ayah hanya membalas perkataanku dengan senyuman. Kami pun segera menghampiri Ibu.

             Tepat di hadapan kami, ada dua bunga mawar berwarna putih. Mawar yang satu ini berbeda, tak berduri. Wanginya pun begitu lembut. Tak begitu menusuk hidungku. Ayah memetik kedua mawar tersebut.
“Ini untuk Ibu, dan ini untuk peri cantikku,” kata ayah seraya memberikan kedua mawar cantik itu.
“Ah, terima kasih, Yah,” bulir air mataku terjatuh. Ibu hanya tersenyum. Bahagianya diri ini, pikirku.

             Ketika sedang memetik bunga mawar yang lain, tiba-tiba tanganku berdarah. Padahal tak ada duri di tangkainya. Dengan sigap, ayah segera mengeluarkan tissu dan mengelap darahku. Ah, ayah, aku kan tidak apa-apa, batinku. Saat ayah sedang mengeluarkan obat merah, ada penjual kembang gula. Entah mengapa rasanya ingin sekali membelinya. Warnanya telah menyihir mataku untuk segera membeli kembang gula tersebut.

“Yah, aku ingin itu,” ucapku sambil menunjuk ke arah kembang gula, yang sedari tadi melambai-lambai.

“Nanti gigimu ompong, Sayang,” senyum Ayah merekah kembali. Aku kesal. Lalu ayahku mengelus kepalaku dan memberi uang untuk kubelikan kembang gula.

“Ah, terima kasih, Ayah,” aku melipat mukaku yang semula kesal, dan melahirkan senyuman kecil untuk Ayah.

            Kami sangat menikmati suasana kebersamaan ini. Seingatku, terakhir kami jalan bersama itu ketika aku berumur lima tahun. Hah, sudah sepuluh tahun lamanya kami tak seperti ini. Aku mengabadikan moment ini dengan kamera digitalku. Ketika kami sedang asik menikmati kembang gula, tiba-tiba ada seorang lelaki yang mencurigakan. Ia memakai kemeja putih dan celana putih. Gagah memang, tapi mengapa ia menghampiri kami? Aku mencoba membuang jauh-jauh pikiran jelekku. Perlahan ia mendekati kami dan berbicara pada Ayah. Raut muka ayah tiba-tiba berubah. Aku memperhatikan gerak-gerik bibir ayah.

“Aku belum puas.” Hanya itu gerakan bibir ayah yang dapat kutangkap dengan jelas, karena mereka berbicara jauh dari kami. Lelaki itu pun menjauh dan menunggu di dekat mobil miliknya. Ayah pun menghampiri kami dengan wajah muram.

“Maafkan Ayah, Bu, Ris.” Ayah mulai menitikkan air mata. “Waktu Ayah sudah habis, ayah harus pergi,” lanjut Ayah yang mulai mendekap ibu dengan erat. Ibu tak berbicara sepatah katapun.

“Maksud Ayah apa? Waktu Ayah? Memang kenapa? Ayah mau ke mana?” pertanyaanku kulayangkan bertubi-tubi, mencari kejelasan ucapan ayah. “Ayah harus pergi, Nak.” Ayah meninggalkan aku dan Ibu. Entah bagaimana perasaan Ibu saat ini. Terlihat air muka bingung menghinggapi wajahnya. Ini begitu mendadak. Aku tak tahu apa maksud dari perkataan Ayah. Tapi yang jelas, ayah dibawa pergi orang yang tak dikenal itu. Perlahan butiran air mata menetes dan berjalan di pipiku. Hati ini terasa sakit, amat sakit.

***

            Aku membuka mata. Ternyata ini hanyalah mimpi! Lega rasanya. Ku kira tadi itu kenyataan. Aku menarik nafas panjang tandakan kelegaan. Tapi, mengapa orang-orang mengerumuniku? Memangnya ada apa? Apa yang terjadi padaku? Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Kulihat ibu yang berada di hadapanku.

“Bu, ada apa ini?” tanyaku pada Ibu. Aku hanya mendengar ucapan syukur yang keluar dari mulut ibu tanpa menjawab pertanyaanku. “Bu, jawab!” Aku mulai kesal dan mulai khawatir.

“Sabar ya, Risti,” ucap salah seorang tetangga seraya menepuk pundakku. Aku semakin bingung.

“Ayah? Bu, ayah mana? Bu, tadi Risti mimpiin Ayah!” ucapku tergesa-gesa. Akupun ke luar kamar dan mencari Ayah. Aku hanya melihat orang-orang yang memakai pakaian yang serba hitam. “Ini ada apa, sih?” tanyaku lagi. Ibu menghampiriku dan mendekapku dengan erat.

“Ayah sudah tidak di sini, sayang. Ayah sudah menghadap Ilahi,” air mata ibu kian meledak. Tubuhku rasanya melayang. Aku lemas, dan akhirnya ambruk dalam dekapan ibu.

“Ibu jangan bohong! Ayah masih ada, Bu!” Aku terus melakukan pembenaran bahwa ayah masih ada di sini. Tapi, di tengah rumah, kulihat seseorang yang telah dibalut kain kafan. Wajahnya tak asing lagi bagiku, dan itu benar-benar ayah, ayahku tercinta. Aku diam, mematung. Tak tahu harus berbuat apa. Memori masa lalu bersama ayah mulai berjalan di otakku.

            Ternyata, mimpiku itu nyata. Satu hari bersama ayah dan bahagia bersamanya. Senyumnya, tutur katanya, dan segala tentang ayah terekam jelas dalam ingatanku. Kurekam semua lewat mataku. Kubiarkan menjadi sebuah cerita yang mengalun indah di dalam hidupku.

Ayah, mengapa secepat ini?” bisikku pelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar