Sumber cahaya
terbesar mulai menampakkan sinarnya. Rerumputan dipenuhi dengan embun yang
memantulkan sinar mentari, membuat kilaunya terlihat indah. Pagi yang cerah
menyambut hari istimewaku. Hari ini merupakan hari ulang tahunku yang ke-17.
Orang-orang biasa menyebutnya dengan ‘Sweet
Seventeen’. Aku berharap, ada seseorang yang bisa membuat hari ini begitu
istimewa. Mungkinkah dia tahu hari ini?
tanyaku pada diri sendiri.
Kutunggu dengan debar yang tak
biasa. Sesekali kupandangi ponsel yang kusimpan di atas meja belajar. Berharap
‘dia’ menjadi orang pertama yang mengucapkannya. Namun harapan hanya tinggal harapan,
kutunggu dari pukul dua belas malam hingga pukul enam pagi, tapi ia tak
mengucapkannya sama sekali. Aku
tersenyum kecut. Ya sudahlah, dia kan
bukan siapa-siapaku. Aku langsung bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Ayah
dan ibuku memberi ucapan selamat. Setidaknya,
mereka masih ingat dengan hari ini, meskipun tidak akan ada perayaan mewah
seperti teman-teman pada umumnya.
***
“Hai,
Mia! Selamat ulang tahun, ya!” tiba-tiba Via ---sahabatku--- mencubit dan
menampar pipiku di depan pintu kelas. Ternyata, dia sudah menungguku dari tadi.
Aku langsung memeluknya, dan berterima kasih padanya karena ia telah ingat
dengan hari jadiku. Teman-teman yang mendengar langsung menoleh pada kami, lalu
mereka pun bergantian mengucapkan ‘Selamat Ulang Tahun’ padaku. Tapi, tidak
dengan lelaki yang sedang duduk di bangku itu. Ia terkesan tak peduli dengan
apa yang terjadi di sekitarnya.
“Ri,
kamu gak akan ngucapin tuh ke Mia? Lihat deh, dari tadi dia melihat ke arahmu
terus!” tanya Via yang suaranya terdengar sampai ke telingaku.
“Ah,
nanti saja. Hmmm, dia kan punya mata. Ya biarkan saja dia melihat kemanapun
yang ia suka,” jawab Fahri ketus. Aku sungguh kecewa dengan jawabannya. Tapi, untuk apa aku marah? Aku kan bukan
siapa-siapanya, aku hanya pengagum rahasia yang belum bisa berkata jujur
padanya. Biarkan sajalah, yang
penting, hari ini harus menjadi hari yang paling menyenangkan! Aku kembali tersenyum.
Via
datang menghampiriku. Ketika ia akan berbicara, aku langsung membuka mulut,
“Sudahlah, aku sudah tahu apa yang akan kamu bicarakan,” kataku seraya
mengembangkan senyum termanisku. Via tak menjawab apapun, yang ia lakukan hanyalah
mengusap punggungku. “Aku tidak apa-apa, Vi. Serius deh,” nadaku meyakinkan.
Via mengangguk dan tak membahasnya lagi.
***
Malam
telah tiba, dan Fahri masih membungkam mulutnya. Ah, lebih baik aku tidur saja, ucapku dalam hati. Aku langsung
menutup badanku dengan selimut. Satu jam kemudian, ponselku bergetar, dan
akupun terbangun. Ternyata ada satu pesan dari Fahri. Ia sengaja memilih
menjadi orang yang terakhir untuk mengucapkan selamat padaku. Aku hanya
tersenyum membaca pesannya, lalu kembali memejamkan mata tanpa membalasnya.
Tiba-tiba ponselku bergetar cukup lama. Setelah kulihat, ternyata Fahri
meneleponku. Ketika kuangkat, ia mematikan secara sepihak. Kenapa dia ini? Lalu ada lagi yang meneleponku, hanya saja, yang
ini disembunyikan nomornya.
“Mi,
pesanku sampai?” suaranya terdengar khas di telingaku. “Aku minta maaf, ya,
baru mengucapkannya sekarang,” lanjutnya
“Fahri,
ya? Tidak apa-apa, kok. Terima kasih, ya. Maaf, ini sudah malam, tadi aku sudah
tidur, jadi pesanmu tidak sempat kubalas,” kataku panjang lebar.
“Eh,
iya, harusnya aku yang meminta maaf. Aku telah mengganggu waktu istirahatmu. Ya
sudah, sampai jumpa besok di sekolah, ya. Maaf aku tidak bisa memberikan
apa-apa padamu, assalamu’alaikum,” aku hanya menjawab salamnya saja, karena
takut ayah dan ibuku terbangun mendengar percakapanku dengan Fahri.
Keesokan harinya, aku belajar dengan
giat, karena hari Senin adalah hari pertamaku melaksanakan ujian kenaikan
kelas.
Hari pertama ujian, aku bisa
mengerjakannya dengan baik. Meskipun aku sendiri tidak tahu, jawabanku benar
atau tidak. Tiba-tiba saja, sikap Fahri padaku menjadi berbeda. Setiap ia
melihatku, senyum simpul selalu merekah di bibirnya. Ah, jangan geer maksimal, Mi! Dalam perjalanan pulang, ponselku
mati karena habis baterai, padahal sebelumnya kulihat ada satu pesan dari
Fahri. Aku berjalan tergesa-gesa menuju rumah. Penasaran dengan isi pesan yang
dikirim Fahri lima belas menit yang lalu.
“Mi, aku memang bukan seseorang
yang pandai merangkai kata sepertimu. Namun, ternyata perasaan ini semakin
mendesakku, agar segera berbicara padamu. Aku menyukaimu. Entah sejak kapan,
entah apa penyebabnya, yang jelas aku menyukaimu, Mi. Aku siap dengan jawaban
apapun. Yang terpenting, aku sudah memberanikan diri untuk mengungkapkan semua
ini.”
Aku terkejut dengan isi pesan
tersebut. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku belum siap untuk menjalin
kasih lagi. Akhirnya kuputuskan untuk menjadi sahabat spesial saja. Mungkin ini
aneh, karena aku juga menyukai Fahri. Tapi, separuh hatiku masih tertinggal di
kekasih lamaku. Fahri harus berjuang keras untuk merebutnya.
***
Semenjak terkirimnya pesan itu, aku dan
Fahri lebih dekat dari sebelumnya. Meskipun kami tidak berpacaran. Kami sering
bertukar cerita dan berbagi ilmu. Itulah yang kusuka dari Fahri. Ilmu yang ia
punya begitu luas, dan membuatku terkagum-kagum. Apalagi dengan ilmu agamanya. Selain
menjadi seorang siswa di sekolah, ia juga seorang santri di pesantren dekat sekolahku.
Karena itulah, aku tidak mengiyakan, ketika diajak berpacaran.
Dua minggu kemudian, aku berencana
untuk pergi ke bioskop dengan Fahri. Namun gagal, karena tak ada satupun film
yang membuatku tertarik. Akhirnya, kami pergi ke toko buku. Setelah sampai di
sana, kamipun membaca buku yang kami inginkan.
“Mi,
ini ceritanya bagus, tentang seorang ibu dan anaknya,” ucap Fahri sambil
menyodorkan sebuah buku.
“Emang
kamu ngerti, buku yang bagus itu yang kayak gimana?” jawabku setengah meledek.
Fahri menatapku sinis. Aku terkekeh melihatnya, ia pun ikut tersenyum. Beberapa
jam kemudian, cacing di perutku mulai berteriak, “Lapaaar….” Aku langsung
mengajak Fahri untuk mencari makan.
“Kamu
lapar? Mmm, aku tahu tempat makanan yang enak, tapi murah! Ayo, naik ke motor!”
ajaknya.
***
Kami langsung makan dengan lahap.
Saat aku sedang makan, ada sekumpulan lelaki yang melihatku. Aku risih dan
langsung berkata pada Fahri. Fahri menatap balik ke arah mereka, dan akhirnya
mereka pun pergi. Setelah selesai, kami pergi ke masjid untuk beribadah.
Kemudian, kami bergegas untuk pulang ke rumah.
“Kamu
sih enak, uangnya habis tapi jelas barangnya. Membeli buku, dan kerupuk untuk
kakakmu. Lah aku? Habis hanya untuk membayar parkir,” kata Fahri di perjalanan
pulang.
“Aduh,
maaf, ya. Aku ganti uangmu, berapa semuanya?” kataku sambil merogoh saku
jaketku.
“Hahaha….aku
hanya becanda, Mi, tenang saja. Tidak apa-apa ko, lagian kan tidak seberapa.
Aku minta maaf, ya? Aku tidak bisa membelikanmu apa-apa. Bahkan, makan saja,
kita harus bayar masing-masing. Harusnya aku yang bayar semuanya, termasuk
makanan kamu,” ujarnya dengan nada pelan di akhir kalimat. Aku hanya tersenyum
saja tanpa menjawab kata-katanya.
Setengah jam kemudian, kami sampai
ke depan rumahku. Kakakku sedang berdiri tepat di halaman rumah yang cukup luas.
Aku dan Fahri segera turun dari motor. Lalu Fahri mencium tangan kakakku. Ah, ia sopan sekali! gumamku dalam hati.
“Fahri,
ya? Mia sering bercerita pada kakak tentangmu,” ucap kakak sambil mendelik ke
arahku. Aku memukul bahunya. Fahri menggaruk kepala yang tak gatal. “Sini masuk
dulu, Fahri. Tidak usah malu-malu padaku,” lanjutnya.
Kakak perempuanku yang hanya
satu-satunya ini memang sangat cerewet. Banyak hal yang ia perbincangkan dengan
Fahri. Kakak membuat aku malu saja! Setelah
satu jam, Fahri berpamitan pulang. Aku mengantarnya sampai ke depan rumah, dan
melambaikan tangan padanya.
“Cieee,
manis juga tuh, Mi,” goda kakakku.
“Apaan
sih, Kak?” wajahku seketika memerah. Akupun tersenyum.
***
Dua bulan berlalu. Ada yang berbeda
dengan Fahri. Akhir-akhir ini, ia lebih banyak menghindar. Ada apa, ya? tanyaku pada diri sendiri.
“Vi,
kata kamu, ada yang berubah gak dari Fahri?” tanyaku pada Via yang baru muncul
di balik pintu kelas.
“Ada!
Jadi sering bareng kamu, kan?” jawabnya setengah tersenyum.
“Ih,
bukan itu! Kerasa gak sih, kalau dia akhir-akhir ini kayak yang menjauh dari
aku,” Via hanya menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tak merasakan perubahan
apapun dari Fahri. Aku pun berhenti memikirkannya, karena kupikir itu tak ada
gunanya.
Bel pulang berbunyi. Semua siswa
begitu gembira ketika mendengarnya. Aku dan yang lain cepat-cepat pulang, untuk
mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh guru kimia.
***
Malam pun tiba. Ketika aku sedang
berkonsentrasi mengerjakan soal, ponselku bergetar. Ternyata ada pesan masuk
dari Fahri. Setelah kubaca pesannya, tak terasa cairan bening dari mataku
meleleh dan membasahi boneka beruangku.
Maaf aku tidak bisa bersamamu lagi,
Mi. Aku takut menyakitimu lebih banyak. Aku kasihan dengan orang-orang yang
dekat denganku, khususnya kamu. Pasti aku sering menjadi penyebabmu sakit hati.
Intinya aku minta maaf, jika aku sering menyakitimu, juga perasaanmu. Mungkin,
dan semoga saja ini yang terakhir kalinya aku menyakitimu.
Aku cepat-cepat menghapus air mataku
dan membalas pesan Fahri. Dia hanya berargumen, “Aku tak ingin menyakitimu, Mi.” Aku semakin bingung. Yang
kulakukan hanyalah menangis. Saat akan kutelepon, ponselnya sudah tak aktif.
Tangisku malah semakin menjadi. Aku menyumpal mulutku dengan selimut, agar suara
tangisku tak terdengar sampai keluar kamar.
Keesokan harinya, mataku sembab dan
sedikit membengkak. Mungkin karena menangis semalaman. Di kelas, aku tak berani
berbicara sepatah katapun.
“Mi,
are you okay?” tanya Via padaku. Aku
tak menjawab apa-apa. “Mi, kenapa? Ada masalah? Cerita, dong, Mi!” Via
mengulang pertanyaannya dengan nada meninggi.
“Aku
baik-baik saja, Vi. Biasa aja kali nanyanya, gak usah sewot gitu,” jawabku
setengah tertawa.
“Kamu
gak akan bisa bohong sama aku, Mi. Kamu ada masalah apa? Mungkin aku bisa
bantu,” ucapnya dengan nada direndahkan. Akhirnya, aku bercerita pada Via.
Tentang Fahri, tentang tadi malam, dan tentang pesan-pesan yang ia kirimkan
padaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Via langsung memelukku dengan erat.
Pelukan sahabat memang obat yang paling tepat bagiku saat ini.
“Mi,
kamu sudah bertanya langsung pada Fahri?” tanya Via. Aku mengangguk pelan.
Dengan cepat, aku menghapus air mata yang membanjiri kedua pipiku. “Sudah,
jangan menangis lagi. Ada Fahri, tuh. Sabar, ya, Mi. I know that feel,” sambung Via.
Semenjak itu, aku menjadi pemurung.
Berbeda dengan yang kemarin-kemarin. Setelah pulang sekolah, aku langsung
berlari ke kamar. Mengunci pintu dan menyumpal mulutku lagi dengan selimut. Dan
untuk yang kesekian kalinya, aku menangis. Tak peduli dimana dan kapan, aku
selalu menangis jika mengingat pesan yang dikirim Fahri. Dua hari penuh, air
mataku selalu terjatuh. Mataku semakin sayu.
Kupikir-pikir lagi, rasanya ini
berlebihan. Aku mencoba menata hatiku yang berantakan. Memulai hari yang baru,
meskipun hubunganku dengan Fahri tidak senyaman dulu lagi. Memang sejak itu,
kami tidak pernah bertegur sapa. Kami seperti orang yang belum pernah bertemu. Tapi,
aku selalu berusaha agar hubungan kami bisa seperti dulu lagi.
***
Tiga bulan berlalu. Aku mulai
terbiasa dengan keadaan ini. Sesekali, aku menjenguk akun jejaring sosialnya.
Sekadar mencari tahu, dengan siapakah ia sekarang. Sampai suatu hari, kulihat
percakapannya dengan seorang wanita yang tak kukenal. Aku langsung membaca
percakapan mereka di timeline milik
Fahri. Dan ternyata, wanita itu adalah kakak kelas Fahri ketika di SMP, dan
mereka membicarakan mantan kekasih Fahri.
Semakin jauh kubaca, kutemukan
kebenaran di sana. Ternyata cinta lama Fahri bersemi kembali. Wajahku terasa
panas. Aku berusaha untuk menahan kecemburuanku. Namun, aku gagal. Dadaku
semakin sesak dibuatnya. Tenggorokanku semakin sakit akibat menahan tangis. Aku
memberanikan diri untuk bertanya pada Fahri melalui pesan singkat. Namun, tak
ada balasan. Keesokan harinya, Fahri memanggilku dan menjawab pertanyaanku yang
tadi malam. Ternyata benar, dia memang kembali pada masa lalunya. Dia mengakui
hal yang tak pernah kuduga, dia menyayangiku , tapi ia juga masih
menyayanginya. Seketika tubuh ini terasa ringan. Aku hampir terjatuh
mendengarnya.
Butiran kristal bening itu kembali
meleleh. Aku langsung berlari menuju toilet. Mencuci muka agar mataku tidak
terlihat merah. Setelah mampu menenangkan diri, aku kembali ke kelas dengan membubuhkan
sedikit senyuman di bibirku. Via langsung mendekatiku. Entah mengapa, ia selalu
tahu dengan apa yang kurasakan, meskipun aku belum menceritakannya.
***
Aku pulang ke rumah dengan keadaan sendu.
Ternyata dia penyebabnya, penyebab Fahri meninggalkanku. Kubuka laptopku dan
membuka jejak kenangan masa lalu, yang pernah kulukiskan bersama Fahri,
ditemani dengan lagu kenangan kami berdua. Kutengok lagi foto-foto yang merekam
kebersamaan kami, membuatku harus menitikkan air mata, entah untuk yang kesekian
kalinya.
Rasanya ini lebih sakit daripada
masa laluku. Ketika aku sudah berhasil menyayanginya, ia malah pergi
meninggalkanku. Menyisakan sejuta kenangan indah yang telah dilalui bersama. Aku
benci diriku sendiri! Aku sulit menetralkan perasaanku pada Fahri. Kepada siapa
seharusnya aku akan melabuhkan hatiku?
Fahri…kuharap engkaulah pelabuhan cinta
terakhirku… bisikku lirih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar