Jumat, 07 Maret 2014

Jejak Kenangan


Sumber cahaya terbesar mulai menampakkan sinarnya. Rerumputan dipenuhi dengan embun yang memantulkan sinar mentari, membuat kilaunya terlihat indah. Pagi yang cerah menyambut hari istimewaku. Hari ini merupakan hari ulang tahunku yang ke-17. Orang-orang biasa menyebutnya dengan ‘Sweet Seventeen’. Aku berharap, ada seseorang yang bisa membuat hari ini begitu istimewa. Mungkinkah dia tahu hari ini? tanyaku pada diri sendiri.
            Kutunggu dengan debar yang tak biasa. Sesekali kupandangi ponsel yang kusimpan di atas meja belajar. Berharap ‘dia’ menjadi orang pertama yang mengucapkannya. Namun harapan hanya tinggal harapan, kutunggu dari pukul dua belas malam hingga pukul enam pagi, tapi ia tak mengucapkannya sama sekali.  Aku tersenyum kecut. Ya sudahlah, dia kan bukan siapa-siapaku. Aku langsung bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Ayah dan ibuku memberi ucapan selamat. Setidaknya, mereka masih ingat dengan hari ini, meskipun tidak akan ada perayaan mewah seperti teman-teman pada umumnya.
***
“Hai, Mia! Selamat ulang tahun, ya!” tiba-tiba Via ---sahabatku--- mencubit dan menampar pipiku di depan pintu kelas. Ternyata, dia sudah menungguku dari tadi. Aku langsung memeluknya, dan berterima kasih padanya karena ia telah ingat dengan hari jadiku. Teman-teman yang mendengar langsung menoleh pada kami, lalu mereka pun bergantian mengucapkan ‘Selamat Ulang Tahun’ padaku. Tapi, tidak dengan lelaki yang sedang duduk di bangku itu. Ia terkesan tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
“Ri, kamu gak akan ngucapin tuh ke Mia? Lihat deh, dari tadi dia melihat ke arahmu terus!” tanya Via yang suaranya terdengar sampai ke telingaku.
“Ah, nanti saja. Hmmm, dia kan punya mata. Ya biarkan saja dia melihat kemanapun yang ia suka,” jawab Fahri ketus. Aku sungguh kecewa dengan jawabannya. Tapi, untuk apa aku marah? Aku kan bukan siapa-siapanya, aku hanya pengagum rahasia yang belum bisa berkata jujur padanya. Biarkan sajalah, yang penting, hari ini harus menjadi hari yang paling menyenangkan! Aku kembali tersenyum.
Via datang menghampiriku. Ketika ia akan berbicara, aku langsung membuka mulut, “Sudahlah, aku sudah tahu apa yang akan kamu bicarakan,” kataku seraya mengembangkan senyum termanisku. Via tak menjawab apapun, yang ia lakukan hanyalah mengusap punggungku. “Aku tidak apa-apa, Vi. Serius deh,” nadaku meyakinkan. Via mengangguk dan tak membahasnya lagi.
***
Malam telah tiba, dan Fahri masih membungkam mulutnya. Ah, lebih baik aku tidur saja, ucapku dalam hati. Aku langsung menutup badanku dengan selimut. Satu jam kemudian, ponselku bergetar, dan akupun terbangun. Ternyata ada satu pesan dari Fahri. Ia sengaja memilih menjadi orang yang terakhir untuk mengucapkan selamat padaku. Aku hanya tersenyum membaca pesannya, lalu kembali memejamkan mata tanpa membalasnya. Tiba-tiba ponselku bergetar cukup lama. Setelah kulihat, ternyata Fahri meneleponku. Ketika kuangkat, ia mematikan secara sepihak. Kenapa dia ini? Lalu ada lagi yang meneleponku, hanya saja, yang ini disembunyikan nomornya.
“Mi, pesanku sampai?” suaranya terdengar khas di telingaku. “Aku minta maaf, ya, baru mengucapkannya sekarang,” lanjutnya
“Fahri, ya? Tidak apa-apa, kok. Terima kasih, ya. Maaf, ini sudah malam, tadi aku sudah tidur, jadi pesanmu tidak sempat kubalas,” kataku panjang lebar.
“Eh, iya, harusnya aku yang meminta maaf. Aku telah mengganggu waktu istirahatmu. Ya sudah, sampai jumpa besok di sekolah, ya. Maaf aku tidak bisa memberikan apa-apa padamu, assalamu’alaikum,” aku hanya menjawab salamnya saja, karena takut ayah dan ibuku terbangun mendengar percakapanku dengan Fahri.
            Keesokan harinya, aku belajar dengan giat, karena hari Senin adalah hari pertamaku melaksanakan ujian kenaikan kelas.
            Hari pertama ujian, aku bisa mengerjakannya dengan baik. Meskipun aku sendiri tidak tahu, jawabanku benar atau tidak. Tiba-tiba saja, sikap Fahri padaku menjadi berbeda. Setiap ia melihatku, senyum simpul selalu merekah di bibirnya. Ah, jangan geer maksimal, Mi! Dalam perjalanan pulang, ponselku mati karena habis baterai, padahal sebelumnya kulihat ada satu pesan dari Fahri. Aku berjalan tergesa-gesa menuju rumah. Penasaran dengan isi pesan yang dikirim Fahri lima belas menit yang lalu.
“Mi, aku memang bukan seseorang yang pandai merangkai kata sepertimu. Namun, ternyata perasaan ini semakin mendesakku, agar segera berbicara padamu. Aku menyukaimu. Entah sejak kapan, entah apa penyebabnya, yang jelas aku menyukaimu, Mi. Aku siap dengan jawaban apapun. Yang terpenting, aku sudah memberanikan diri untuk mengungkapkan semua ini.”
            Aku terkejut dengan isi pesan tersebut. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku belum siap untuk menjalin kasih lagi. Akhirnya kuputuskan untuk menjadi sahabat spesial saja. Mungkin ini aneh, karena aku juga menyukai Fahri. Tapi, separuh hatiku masih tertinggal di kekasih lamaku. Fahri harus berjuang keras untuk merebutnya.
***
            Semenjak terkirimnya pesan itu, aku dan Fahri lebih dekat dari sebelumnya. Meskipun kami tidak berpacaran. Kami sering bertukar cerita dan berbagi ilmu. Itulah yang kusuka dari Fahri. Ilmu yang ia punya begitu luas, dan membuatku terkagum-kagum. Apalagi dengan ilmu agamanya. Selain menjadi seorang siswa di sekolah, ia juga seorang santri di pesantren dekat sekolahku. Karena itulah, aku tidak mengiyakan, ketika diajak berpacaran.
            Dua minggu kemudian, aku berencana untuk pergi ke bioskop dengan Fahri. Namun gagal, karena tak ada satupun film yang membuatku tertarik. Akhirnya, kami pergi ke toko buku. Setelah sampai di sana, kamipun membaca buku yang kami inginkan.
“Mi, ini ceritanya bagus, tentang seorang ibu dan anaknya,” ucap Fahri sambil menyodorkan sebuah buku.
“Emang kamu ngerti, buku yang bagus itu yang kayak gimana?” jawabku setengah meledek. Fahri menatapku sinis. Aku terkekeh melihatnya, ia pun ikut tersenyum. Beberapa jam kemudian, cacing di perutku mulai berteriak, “Lapaaar….” Aku langsung mengajak Fahri untuk mencari makan.
“Kamu lapar? Mmm, aku tahu tempat makanan yang enak, tapi murah! Ayo, naik ke motor!” ajaknya.
***
            Kami langsung makan dengan lahap. Saat aku sedang makan, ada sekumpulan lelaki yang melihatku. Aku risih dan langsung berkata pada Fahri. Fahri menatap balik ke arah mereka, dan akhirnya mereka pun pergi. Setelah selesai, kami pergi ke masjid untuk beribadah. Kemudian, kami bergegas untuk pulang ke rumah.
“Kamu sih enak, uangnya habis tapi jelas barangnya. Membeli buku, dan kerupuk untuk kakakmu. Lah aku? Habis hanya untuk membayar parkir,” kata Fahri di perjalanan pulang.
“Aduh, maaf, ya. Aku ganti uangmu, berapa semuanya?” kataku sambil merogoh saku jaketku.
“Hahaha….aku hanya becanda, Mi, tenang saja. Tidak apa-apa ko, lagian kan tidak seberapa. Aku minta maaf, ya? Aku tidak bisa membelikanmu apa-apa. Bahkan, makan saja, kita harus bayar masing-masing. Harusnya aku yang bayar semuanya, termasuk makanan kamu,” ujarnya dengan nada pelan di akhir kalimat. Aku hanya tersenyum saja tanpa menjawab kata-katanya.
            Setengah jam kemudian, kami sampai ke depan rumahku. Kakakku sedang berdiri tepat di halaman rumah yang cukup luas. Aku dan Fahri segera turun dari motor. Lalu Fahri mencium tangan kakakku. Ah, ia sopan sekali! gumamku dalam hati.
“Fahri, ya? Mia sering bercerita pada kakak tentangmu,” ucap kakak sambil mendelik ke arahku. Aku memukul bahunya. Fahri menggaruk kepala yang tak gatal. “Sini masuk dulu, Fahri. Tidak usah malu-malu padaku,” lanjutnya.
            Kakak perempuanku yang hanya satu-satunya ini memang sangat cerewet. Banyak hal yang ia perbincangkan dengan Fahri. Kakak membuat aku malu saja! Setelah satu jam, Fahri berpamitan pulang. Aku mengantarnya sampai ke depan rumah, dan melambaikan tangan padanya.
“Cieee, manis juga tuh, Mi,” goda kakakku.
“Apaan sih, Kak?” wajahku seketika memerah. Akupun tersenyum.
***
            Dua bulan berlalu. Ada yang berbeda dengan Fahri. Akhir-akhir ini, ia lebih banyak menghindar. Ada apa, ya? tanyaku pada diri sendiri.
“Vi, kata kamu, ada yang berubah gak dari Fahri?” tanyaku pada Via yang baru muncul di balik pintu kelas.
“Ada! Jadi sering bareng kamu, kan?” jawabnya setengah tersenyum.
“Ih, bukan itu! Kerasa gak sih, kalau dia akhir-akhir ini kayak yang menjauh dari aku,” Via hanya menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tak merasakan perubahan apapun dari Fahri. Aku pun berhenti memikirkannya, karena kupikir itu tak ada gunanya.
            Bel pulang berbunyi. Semua siswa begitu gembira ketika mendengarnya. Aku dan yang lain cepat-cepat pulang, untuk mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh guru kimia.
***
            Malam pun tiba. Ketika aku sedang berkonsentrasi mengerjakan soal, ponselku bergetar. Ternyata ada pesan masuk dari Fahri. Setelah kubaca pesannya, tak terasa cairan bening dari mataku meleleh dan membasahi boneka beruangku.
Maaf aku tidak bisa bersamamu lagi, Mi. Aku takut menyakitimu lebih banyak. Aku kasihan dengan orang-orang yang dekat denganku, khususnya kamu. Pasti aku sering menjadi penyebabmu sakit hati. Intinya aku minta maaf, jika aku sering menyakitimu, juga perasaanmu. Mungkin, dan semoga saja ini yang terakhir kalinya aku menyakitimu.
            Aku cepat-cepat menghapus air mataku dan membalas pesan Fahri. Dia hanya berargumen, “Aku tak ingin menyakitimu, Mi.” Aku semakin bingung. Yang kulakukan hanyalah menangis. Saat akan kutelepon, ponselnya sudah tak aktif. Tangisku malah semakin menjadi. Aku menyumpal mulutku dengan selimut, agar suara tangisku tak terdengar sampai keluar kamar.
            Keesokan harinya, mataku sembab dan sedikit membengkak. Mungkin karena menangis semalaman. Di kelas, aku tak berani berbicara sepatah katapun.
“Mi, are you okay?” tanya Via padaku. Aku tak menjawab apa-apa. “Mi, kenapa? Ada masalah? Cerita, dong, Mi!” Via mengulang pertanyaannya dengan nada meninggi.
“Aku baik-baik saja, Vi. Biasa aja kali nanyanya, gak usah sewot gitu,” jawabku setengah tertawa.
“Kamu gak akan bisa bohong sama aku, Mi. Kamu ada masalah apa? Mungkin aku bisa bantu,” ucapnya dengan nada direndahkan. Akhirnya, aku bercerita pada Via. Tentang Fahri, tentang tadi malam, dan tentang pesan-pesan yang ia kirimkan padaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Via langsung memelukku dengan erat. Pelukan sahabat memang obat yang paling tepat bagiku saat ini.
“Mi, kamu sudah bertanya langsung pada Fahri?” tanya Via. Aku mengangguk pelan. Dengan cepat, aku menghapus air mata yang membanjiri kedua pipiku. “Sudah, jangan menangis lagi. Ada Fahri, tuh. Sabar, ya, Mi. I know that feel,” sambung Via.
            Semenjak itu, aku menjadi pemurung. Berbeda dengan yang kemarin-kemarin. Setelah pulang sekolah, aku langsung berlari ke kamar. Mengunci pintu dan menyumpal mulutku lagi dengan selimut. Dan untuk yang kesekian kalinya, aku menangis. Tak peduli dimana dan kapan, aku selalu menangis jika mengingat pesan yang dikirim Fahri. Dua hari penuh, air mataku selalu terjatuh. Mataku semakin sayu.
            Kupikir-pikir lagi, rasanya ini berlebihan. Aku mencoba menata hatiku yang berantakan. Memulai hari yang baru, meskipun hubunganku dengan Fahri tidak senyaman dulu lagi. Memang sejak itu, kami tidak pernah bertegur sapa. Kami seperti orang yang belum pernah bertemu. Tapi, aku selalu berusaha agar hubungan kami bisa seperti dulu lagi.
***
            Tiga bulan berlalu. Aku mulai terbiasa dengan keadaan ini. Sesekali, aku menjenguk akun jejaring sosialnya. Sekadar mencari tahu, dengan siapakah ia sekarang. Sampai suatu hari, kulihat percakapannya dengan seorang wanita yang tak kukenal. Aku langsung membaca percakapan mereka di timeline milik Fahri. Dan ternyata, wanita itu adalah kakak kelas Fahri ketika di SMP, dan mereka membicarakan mantan kekasih Fahri.
            Semakin jauh kubaca, kutemukan kebenaran di sana. Ternyata cinta lama Fahri bersemi kembali. Wajahku terasa panas. Aku berusaha untuk menahan kecemburuanku. Namun, aku gagal. Dadaku semakin sesak dibuatnya. Tenggorokanku semakin sakit akibat menahan tangis. Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Fahri melalui pesan singkat. Namun, tak ada balasan. Keesokan harinya, Fahri memanggilku dan menjawab pertanyaanku yang tadi malam. Ternyata benar, dia memang kembali pada masa lalunya. Dia mengakui hal yang tak pernah kuduga, dia menyayangiku , tapi ia juga masih menyayanginya. Seketika tubuh ini terasa ringan. Aku hampir terjatuh mendengarnya.
            Butiran kristal bening itu kembali meleleh. Aku langsung berlari menuju toilet. Mencuci muka agar mataku tidak terlihat merah. Setelah mampu menenangkan diri, aku kembali ke kelas dengan membubuhkan sedikit senyuman di bibirku. Via langsung mendekatiku. Entah mengapa, ia selalu tahu dengan apa yang kurasakan, meskipun aku belum menceritakannya.
***
            Aku pulang ke rumah dengan keadaan sendu. Ternyata dia penyebabnya, penyebab Fahri meninggalkanku. Kubuka laptopku dan membuka jejak kenangan masa lalu, yang pernah kulukiskan bersama Fahri, ditemani dengan lagu kenangan kami berdua. Kutengok lagi foto-foto yang merekam kebersamaan kami, membuatku harus menitikkan air mata, entah untuk yang kesekian kalinya.
            Rasanya ini lebih sakit daripada masa laluku. Ketika aku sudah berhasil menyayanginya, ia malah pergi meninggalkanku. Menyisakan sejuta kenangan indah yang telah dilalui bersama. Aku benci diriku sendiri! Aku sulit menetralkan perasaanku pada Fahri. Kepada siapa seharusnya aku akan melabuhkan hatiku?
Fahri…kuharap engkaulah pelabuhan cinta terakhirku… bisikku lirih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar